Senin, 14 September 2009

kOMUNITAS HUKUM; Pemberdayaan Perempuan

Kebijakan berbasis pengarus-utamaan (mainstreaming) gender pada era pasca reformasi tampak lebih mendapat perhatian lebih dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Pemerintah daerah propinsi Riau direncanakan akan mengalokasi anggaran pendanaan yang relatif lebih besar dari masa sebelumnya guna menyukseskan program berbasis pengarus-utamaan gender.
Persoalan perempuan di Riau antara lain terlihat dari masih tertatih-tatihnya perjuangan menuju kemandirian perempuan dan keterlibatan perempuan dalam keputusan-keputusan publik sangat dipengaruhi oleh kemandirian ekonomi. Hal ini dikarenakan posisi perempuan terutama di daerah pedesaan, masih belum otonom (mandiri) di hadapan suami atau laki-laki. Dengan kata lain, disaksikan pola ketergantungan perempuan terhadap kelangsungan hidup mereka pada laki-laki, yang akhirnya berimplikasi pada ketundukan yang merugikan dirinya.

Minimal terdapat dua cara pandang yang berbeda mengenai status ekonomi perempuan yang rendah. Pertama, rendahnya tingkat ekonomi perempuan dianggap sebagai penyebab status ekonomi perempuan di pedesaan rendah. Asumsinya: apabila perempuan-perempuan miskin ini mempunyai kesempatan untuk melakukan kerja yang produktif, penghasilan tersebut akan dapat menarik mereka keluar dari kemiskinan.
Kedua, menganggap status ekonomi perempuan yang rendah dianggap sebagai tidak masuk perempuan penuh sebagai "sumber daya manusia" dalam ekonomi. Penyebabnya adalah rendahnya pendidikan, manajemen waktu yang tidak mencukupi, dan kegiatan produktif dianggap tidak produktif yang efesien. Kegiatan subsistensi yang dianggap tidak produktif harus dihilangkan atau dimodernisir agar perempuan beroleh imbalan uang.
Selain itu, terdapat dua perspektif ketika melihat penyebab rendahnya status ekonomi perempuan pedesaan. Pertama, rendahnya tingkat ekonomi perempuan jangan dilihat sebagai perncerminan keterbelakangan, tetapi sebagai pencerminan subordinasi. Penyebaran sumber daya kerja dan pendapatan yang tidak berimbang di antara dua orang gender lebih dapat menerangkan rendahnya status ekonomi perempuan dalam ekonomi.
Kedua, pendayagunaan sumber daya yang tidak cukup dipakai oleh peempuan dalam rangka meningkatkan sumber daya dirinya. Hal ini disebabkan perempuan di pedesaan menghadapi ketertutupan akses sehingga mereka sulit untuk tampil di ruang publik.
Berbagai halangan baik secara kultural, stuktural maupun kombinasi keduanya, hanya dapat dihilangkan jika perempuan secara penuh mempunyai otonomi terhadap dirinya. Hal ini akan tercapai jika perempuan memiliki kemandirian dalam pemenuhan tuntutan ekonomi mereka dan keluarga masing-masing.
Agenda otonomisasi ekonomi perempuan menjadi signifikan lantaran pada dataran kultural disaksikan adanya konstruksi sosial di sekitar kita masih menempatkan perempuan pada posisi sub-ordinat, sementara laki-laki pada posisi super-ordinat. Laki-laki memiliki otoritas yang melebihi perempuan dan memiliki argumentasi berbasis kultural untuk selalu menempatkan perempuan pada posisi sub-ordinat dan mengalah. Kondisi ini membawa sangat sedikitnya peranan sosial perempuan yang dilembagakan. Kontribusi perempuan untuk menciptakan hubungan-hubungan ekstra-domestik dan memperoleh keuntungan darinya jarang diakui secara eksplisit.
Melihat realitas demikian, maka usaha agar perempuan di pedesaan untuk bekerja dan memiliki posisi ekonomi hendaknya menjadi faktor menentukan dalam meredefinisi hubungan mereka dengan laki-laki. Untuk itu kajian berikut akan memetakan akar persoalan yang melatari rendahnya posisi ekonomi perempuan di pedesaan Riau, sehingga pada gilirannya dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang sensitif terhadap kepentingan pemberdayaan ekonomi perempuan.