Rabu, 07 Oktober 2009

efektifitas pemidanaan tindak pidana korupsi

Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas untuk pertama kalinya pada pasal 1, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi:
Yang disebut tindak pidana korupsi ialah:
a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau Daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat;
b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalah-gunakan jabatan dan kedudukan;
c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Sedangkan Undang-Undang yang pertama kali mencantumkan pengertian korupsi pada pasal 1, Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagian besar pengertian korupsi dalam UU tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP), yang berbunyi:
Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 K.U.H.P.;
d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419 dan 420 K.U.H.P. tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
f. Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.

Perubahan terakhir Undang-Undang tentang tindak pidana korupsi yatiu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 Pasal 2 menyebutkan bahwa korupsi adalah :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat 30 rumusan bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terpisah dan terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang dikenakan pidana korupsi. Namun pada dasarnya 30 bentuk/jenis korupsi itu dapat dikelompokan menjadi:
a. Kerugian keuangan negara
b. Suap menyuap
c. Pengelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
g. Gratifikasi
Pada tahun 2005, menurut data Pacific and Economic Risk Consultancy, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari, korupsi bagi bangsa Indonesia yang sudah pada tataran yang memprihatinkan, hal ini disebabkan praktek korupsi sudah hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat baik secara harpiah maupun hukum. Lembaga survei yang berbasis di Hong Kong, (PERC) baru-baru ini menyampaikan hasil penelitian mengenai peringkat korupsi negara-negara Asia. Indonesia dalam penilaian mereka masih sebagai negara ketiga terkorup di antara 13 negara Asia lainnya. Skor PERC untuk Indonesia pada 2008 adalah 7,98, lebih baik dibanding tahun 2007 yang mencapai 8,03.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Transparency International Indonesia yang dikenal dengan Indek Presepsi Korupsi (IPK) menyatakan bahwa Indonesia masih menempati pada tahun 2006, IPK Indonesia 2,4, maka pada tahun 2007 ini turun menjadi 2,3, dengan skala 0-10. (0 terkorup dan 10 terbersih).
Korupsi telah mewabah disebabkan beberapa faktor antara lain adanya kesempatan dan peluang, kesempatan disebabkan sistem hukum yang masih berkutak pada hukum yang belum memberikan aspek jera bagi pelaku korupsi, ditambah lagi hukuman yang diberikan kepada koruptor masih tergolong sangat rendah. Sedangkan faktor peluang disebabkan prilaku korupsi saat ini masih sangat dilindung oleh undang-undang karena belum diterapkannya asas pembuktian terbalik bagi tersangka kasus korupsi.
Untuk melawan korupsi pemerintah telah mempersiapkan segala perangkat hukum yang cukup memadai baik dari proses pencegahan maupun sampai pada tingkatan penindakan. Perangkat hukum dari Undang-Undang Anti Korupsi, pengadilan yang menangani khusus kasus korupsi, lembaga anti korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi), serta penegak hukum yang telah ada baik kepolisian maupun kejaksaan, namun praktek korupsi masih terus merajalela. Usaha yang selama ini dilakukan pemerintah melalui aparat penegak hukum masih tataran penghukuman, belum menyentuh upaya hukum untuk mengembalikan kerugian negara yang dapat dilakukan dengan penerapan hukum perdata.
Jumlah kasus korupsi dari tahun ke tahun terus meningkat baik dari kuantitas maupun kualitas kerugian negara yang korupsi, berdasarkan laporan tahunan KPK tahun 2008, sejak berdiri hingga Nopember 2007 laporan pengaduan yang masuk ke kantor KPK sebanyak 22.172 pengaduan. Kelemahan upaya melawan korupsi yang disinyalir oleh Indonesia Coruption Wacth (ICW) disebabkan antara lain :
a. Pemberantasan korupsi berjalan lamban, aparat penegak hukum tidak serius dalam menangani kasus korupsi
b. Tiadanya jaminan akses informasi publik (misalnya UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik)
c. KPK tidak bisa menangani semua kasus yang dilaporkan oleh masyarakat
d. Kualitas pelaporan yang sulit untuk ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum
Korupsi telah merugikan masyarakat secara luas dengan mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan publik oleh pemerintahan. Korupsi mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor dunia usaha, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan supa menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Korupsi juga menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana penyuapan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia adalah korupsi.
Korupsi merupakan faktor penghambat bagi pengembangan demokrasi, menghambat pelaksanaan tugas lembaga-lembaga publik serta penyalahgunaan sumber daya yang dimiliki baik alam maupun manusia secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Korupsi memupuk perilaku merahasiakan segala sesuatu dan penindasan. Kerahasiaan terlihat dari banyaknya pelaksanaan program pembangunan yang memiliki permasalahannya masing-masing di mulai dari pengajuan anggaran yang diperbesar (mark up), penggunaan anggaran yang diperkecil (mark down), kegiatan fiktif maupun kondisi yang tidak layak guna. Penindasan dijelaskan dengan kondisi ketidakmampuan masyarakat untuk menikmati hasil yang telah dilakukan oleh sebuah proses pembangunan.
Pada tatanan realitas korupsi banyak sekali menimbulkan kerugian dalam bentuk dana yang cukup besar. Namun lebih dari itu kerugian yang terbesar dari pelaksanaan korupsi yang terus menerus adalah antara lain terciptanya kemiskinan struktural, penumpukan ilegal aset-aset pada segelintir orang, dan lebih parah lagi akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan dan rasa hormat kepada lembaga-lembaga administrasi dan tata kelola pemerintah sehingga menimbulkan kelemahan otoritas pemerintah terhadap rakyatnya.
Terkait dengan kasus korupsi, sistem pemidanaan terhadap pelaku korupsi saat ini hanya bersipat penghukuman penjara ketimbang pengembalian kerugian negara. Sehingga upaya pengembalian kerugian negara belum dilakukan maksimal, hal ini disebabkan berapa hal antara lain: upaya hukum secara pidana yang membebankan kepada pembuktian hukum secara materil lebih mudah.
Saat ini kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum baik KPK, Kepolisian dan Kejaksaan cukup beragam, serta memiliki jumlah kerugian negara yang cukup tinggi. Tahun 2006, pengembalian kerugian negara atas kasus korupsi yang ditangani KPK hanya Rp 27,7 miliar sedangkan tahun 2008 jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan KPK dihitung berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu putusan terhadap uang rampasan, uang pengganti, dan denda sebesar Rp 119.976.472.962,00 yang terdiri dari: Potensi barang bukti yang dirampas untuk negara senilai Rp22.031.013.912,00, Potensi hukuman uang pengganti senilai Rp91.395.459.050,00, potensi hukuman denda sebesar Rp6.550.000.000,00. Jumlah itu tidak terlalu menggembirakan jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang ditangani.
Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi defisit APBN sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan seperti pendidikan dan kesehatan. Apakah pemberantasan korupsi cukup dilakukan melalui pendekatan hukum pidana? Apakah rezim hukum perdata memungkinkan dalam rangka pengembalian kerugian negara?.
Sebenarnya politik hukum pemberantasan korupsi sudah menyadari pentingnya kedua rezim hukum tersebut, baik hukum pidana maupun perdata. Karena itu, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak hanya memberikan peluang hukum pidana melalui penyitaan harta benda milik pelaku oleh penyidik dan selanjutnya jaksa penuntut umum menuntut agar hakim melakukan perampasan, tetapi juga memberikan peluang melalui instrumen hukum perdata.
Selama ini jaksa hanya menggunakan instrumen pidana semata, sementara gugatan perdata belum pernah dilakukan, kecuali terhadap kasus mantan Presiden Soeharto yang saat ini sedang dalam proses. Mengapa gugatan perdata tidak dilakukan? Adakah persoalan yuridis?
Harus diakui, secara teknis-yuridis terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi jaksa pengacara negara dalam melakukan gugatan perdata. Antara lain, hukum acara perdata yang digunakan sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa yang, antara lain, menganut asas pembuktian formal. Beban pembuktian terletak pada pihak yang mendalilkan (jaksa pengacara negara yang harus membuktikan) kesetaraan para pihak, kewajiban hakim untuk mendamaikan para pihak, dan sebagainya.
Sedangkan jaksa pengacara negara (JPN) sebagai penggugat harus membuktikan secara nyata bahwa telah ada kerugian negara. Yakni, kerugian keuangan negara akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa, atau terpidana; adanya harta benda milik tersangka, terdakwa, atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara (Suhadibroto: 2006).
Selain itu, seperti umumnya penanganan kasus perdata, membutuhkan waktu yang sangat panjang sampai ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap. Berharap banyak pembentuk UU Tipikor, tampaknya, berharap banyak untuk mengembalikan keuangan negara sebanyak-banyaknya. Lihat saja, misalnya, ketentuan tentang dimungkinkannya melakukan gugatan perdata dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti.
Padahal, secara nyata telah ada kerugian keuangan negara (pasal 32), gugatan terhadap ahli waris, dan terhadap putusan bebas juga masih dimungkinkan dilakukan gugatan perdata. Sayang, ketentuan tersebut tidak operasional dan belum pernah dilakukan (KHN:2006).
Begitu besarnya perhatian terhadap korupsi yang sudah dikategorikan extra ordinary crime, transnational crime, dan julukan lain yang menunjukkan betapa berbahayanya korupsi, sehingga tersangka, terdakwa, atau terpidana yang meninggal dunia sekalipun masih dimintai pertanggungjawaban kepada ahli warisnya.
Konvensi PBB Antikorupsi 2003 juga membolehkan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan penyitaan atau perampasan atas kekayaan pelaku tindak pidana korupsi tanpa adanya putusan pengadilan dalam pelaku meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan layak.
Keinginan besar untuk mengembalikan kerugian negara dan julukan korupsi sebagai extraordinary crime tidak didukung oleh perangkat hukum yang ada, khususnya dalam upaya pengembalian kerugian negara melalui gugatan perdata. Dalam hal ini, hukum acara perdata tidak memberikan kemudahan, bahkan cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem pembuktian terbalik, adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara.
Juga, misalnya, tak ada hakim ad hoc, proses litigasi bagi tersangka/terdakwa/terpidana yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya proses perdamaian yang harus ditempuh (dading), dan sebagainya (KHN:2006). Hambatan-hambatan tersebut harus segera diatasi untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara melalui pembuatan hukum acara perdata khusus perkara korupsi yang keluar dari pakem-pakem hukum acara perdata konvensional.
Jika tidak, pengembalian kerugian negara melalui instrumen perdata yang diamanatkan undang-undang hanya akan menjadi macan ompong. Yang menarik saat ini, pemberantasan korupsi telah cukup banyak menghakimi dengan vonis bersalah pelaku korupsi, namun pelaku korupsi masih bertambah serta bertambah berjamaah. Ilustrasi yang dapat disampaikan dengan hukum penjara paling lama 20 tahun, dengan kejahatan korupsi miliaran rupiah pelaku korupsi masih beruntung dengan sisa kekayaan yang dimiliki. Jika ini menjadi semboyan para koruptor, tentu menjadi pekerjaan rumit bagi aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi.