Rabu, 07 Oktober 2009

kelas menengah sakai

Saya ingin jelaskan bahwa Sakai sudah maju. Sudah ada anak Sakai yang bekerja di perusahaan asing. Ada pula yang menjadi anggota dewan dan camat. Sakai tidak lagi terbelakang seperti dibayangkan banyak orang. Memang ada yang masih terbelakang, tetapi juga ada yang sudah modern.
Suhardi, Ketua Umum IPSR, 15/10/2005.
Pendahuluan
Tulisan berikut membahas gerakan civil society dalam komunitas Sakai dengan meneropong aktivisme anggota kelas menengah mereka. Pemaparan dibagi ke dalam tiga sub-pembahasan utama. Bagian pertama memaparkan diskursus kelas menengah dalam hubungannya dengan gerakan civil society. Berbagai pandangan tentang konsepsi kelas menengah yang dikembangkan di sini menekankan perlunya memotret gerakan kelas menengah di pedesaan atau komunitas yang dipersepsikan marjinal. Teoritisasi konsep kelas menengah diarahkan membangun argumentasi bahwa poin mendasar bagi kategorisasi kelas menengah adalah aktivisme di ruang publik dalam memperjuangkan hak-hak kelas atau kepentingan komunitas masing-masing. Bagian kedua, akan memaparkan profil perkumpulan yang memiliki peranan signifikan bagi pertumbuhan gerakan kelas menengah Sakai (selanjutnya disingkat: KMS), yakni Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Sakai (HPPMS), Ikatan Pemuda Sakai Riau (IPSR), dan Lembaga Adat Melayu Sakai Riau (LAMSR). Selanjutnya, di pembahasan bagian ketiga, penulis akan memaparkan bagaimana KMS, melalui perkumpulan-perkumpulan tersebut, merespon isu-isu sosial-politik yang terkait dengan kepentingan mereka. Sedikitnya tiga masalah akan dibahas guna memotret dinamika gerakan KMS secara detail, yakni respon mereka dalam menangkap peluang politik baru, peningkatan kualitas pendidikan dan lapangan pekerjaan, serta gerakan penguatan identitas kultural dan budaya Sakai.
Sepintas terkesan bahwa mempersandingkan terminologi “kelas menengah”, “Sakai” dan “civil society” merupakan sebentuk penyimpangan atau menyalahi kelaziman. Terminologi “Sakai”, dalam persepsi pemikiran banyak orang terlanjur dipersepsikan sebagai komunitas terbelakang dan berbasis pedalaman. Sementara, kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang digunakan untuk menggambarkan strata sosial dalam masyarakat modern, bahkan dalam batas tertentu cenderung bersifat urban community (komunitas perkotaan). Kesan penyimpangan dari kelaziman bertambah ketika kedua kategorisasi tersebut dikombinasikan dengan terminologi gerakan civil society. Hal ini agaknya pula dikarenakan istilah civil society sudah terlanjur digunakan untuk menganalisa gerakan sosial di komunitas perkotaan atau modern. Maka dapat dimengerti apabila sementara orang akan menilai judul artikel di atas sebagai rumusan yang kurang lazim digunakan.
Tetapi, pada saat melakukan penelitian mengenai Respon Orang Sakai, Talang Mamak dan Duano Terhadap Program Pemerintah Tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Propinsi Riau, penulis mendapatkan pembenaran bagi penggunaan rumusan judul di atas. Betapa tidak, sepanjang pengambilan data lapangan selama bulan Oktober 2005 yang sebagian besar menjadi bahan penulisan artikel berikut, penulis mendapati fenomena mencengangkan dan berbeda dari narasi dominan seperti ditemukan di hampir semua buku yang membicarakan konstruksi identitas komunitas Sakai.
Masyarakat Sakai yang bagi banyak orang dipersepsikan marjinal, terpencil, tidak berpendidikan dan streotip-streotip sejenis, faktanya tidaklah bersifat monolitik. Suhardi, Ketua Umum IPSR, menggambarkan masyarakat Sakai “ada yang masih terbelakang, tetapi ada juga yang sudah modern” (Wawancara Suhardi, 14/10/2005) Tidak dapat menerima dengan konstruksi identitas yang dicangkokkan kepada komunitas mereka, sebagian orang Sakai, terutama seperti dimotori KMS mengartikulasikan penolakan mereka dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan yang belakangan melahirkan gerakan masyarakat sipil. Tujuan mereka, mengkonstruksi citra baru Sakai yang modern dan mendekonstruksi narasi dominan yang dilekatkan pihak luar terhadap komunitas mereka. Secara nominal, populasi KMS memang diperkirakan hanya di bawah satu persen dari total anggota komunitas Sakai. Tetapi, posisi strategis ditambah kemampuan mereka tampil di ruang publik, menjadikan KSM memiliki posisi penting, tidak saja di internal komunitas Sakai sendiri, melainkan pula di hadapan pemerintah daerah atau pihak-pihak di luar mereka.

Diskursus Tentang Kelas Menengah dan Civil society
Membaca gerakan kelas menengah bukan perkara mudah. Terlebih apabila dipertautkan dengan gerakan civil society. Terkait dengan kelas menengah, kesulitan muncul barangkali lantaran definisi tentang kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang dinamis dan tidak bermakna tunggal. Menurut Ariel Heryanto, kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang dipahami secara bervariasi, bahkan acapkali saling berlawanan. Heryanto menegaskan, beberapa pandangan yang saling berlawanan terlanjur dominan dalam kajian kelas menengah Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa kelas menengah dalam masyarakat ini (seharusnya) secara moral hebat dan progresif. Sejumlah pengamat lain menolak pandangan semacam itu dan secara esensial menganggap kelas ini konservatif dan sangat oportunis. (Heryanto, 2004:50-52)
Terlepas dari pertentangan antara dua kutub pandangan tersebut, sesungguhnya terdapat keserupaan antara keduanya dalam mengidentifikasi siapa kelompok kelas menengah. Menurut Heryanto, yang lazim sama dalam semua ragam kelas menengah (tanpa kesamaan ini mereka tidak dapat disebut sebagai kelas menengah) adalah kiblat atau ikatan mereka pada gabungan beberapa hal berikut ini: tinggal di perkotaan; pekerjaan dan pendidikan modern; dan selera budaya, yang tampil secara mencolok, tetapi tidak semata-mata, dalam konsumsi gaya hidup. Hal lain yang mempersamakan kedua kutub tersebut adalah bahwa secara ekonomi, orang-orang dalam kelas menengah menduduki posisi yang jelas berbeda, dari mereka yang lazim disebut kelas pekerja. Mereka juga berbeda dari kelompok yang paling diuntungkan dalam tatanan sosial yang ada berkat kekuasaan ekonomi atau birokratis mereka yang besar. (Heryanto, 2004:54)
Menurut Joel Kahn, memiliki gaji, kekayaan, pekerjaan, keterampilan, pengetahuan atau kepakaran tertentu, tidak secara otomatis membuat seseorang menjadi anggota kelas menengah. Namun hemat kami, demikian Kahn melanjutkan, apa yang membuat seseorang menjadi anggota kelas menengah adalah aspek penampilan penggunaan pengetahuan dan keterampilan semacam itu dalam lingkungan publik tertentu yang berwibawa secara moral bagi tindakan dan pelaku tindakan semacam itu (Lihat, Kahn, 1996:12-33). Seseorang dikelompokkan ke dalam kelas menengah bukan karena kategorisasi ekonomi semata. Paralel dengan Kahn, Heryanto mengingatkan bahwa dimensi ekonomi penting, namun tidak cukup sebagai satu-satunya tolok ukur sifat kelas menengah, terutama untuk unsur-unsur menengah yang secara politik lebih aktif (Heryanto, 2004:54-55).
Pandangan Heryanto yang secara ketat mempersyaratkan kelas menengah mesti berbasis urban (perkotaan) hemat kami menafikan kemungkinam kehadiran kelompok kelas menengah berbasis pedesaan. Berbeda dengan Heryanto, Kuntowijoyo menyatakan kemungkinan kehadiran kelompok kelas menengah berbasis pedesaan, terutama dari para pemilik tanah dalam skala besar. Juga berbeda dengan Heryanto, Kuntowijoyo mengelompokkan kalangan birokrat dan pegawai pemerintah sebagai kelas menengah, terlepas dari artikulasi mereka di ruang publik. (Lihat, Kuntowijoyo, 1985:36) Sebab itu, kategorisasi kelas menengah sesungguhnya tidak memiliki pembedaan yang tegas apabila dilihat lokus geografis desa-kota dan pemerintah-non pemerintah. Mereka bisa saja hadir dari salah satu elemen dari kedua kutub tersebut, atau bahkan tidak dari keduanya.
Paralel dengan hal tersebut, pemaparan berikut secara kategoris lebih cenderung sepandangan dengan konseptualisasi Kuntowijoyo dalam mengidentifikasi kelas menengah. Kelompok kelas menengah tidak mesti berbasis perkotaan, tetapi juga kadang-kadang muncul dari lingkungan pedesaan atau kelompok marjinal. Meminjam kerangka pemikiran Gramsci tentang konsepsi intelektual organik yang merupakan perwakilan (representasi) dari kelas (Gramsci, 1996:3-23), penulis hendak mengatakan bahwa kelompok kelas menengah pun merupakan representasi dari kelas atau komunitas mereka masing-masing. Kelompok kelas menengah di perkotaan sangat boleh jadi memiliki basis ekonomi, keterampilan, kompetensi intelektual, yang berbeda dengan konfigurasi kelas menengah di pedesaan.
Singkatnya, kelas menengah tidak semata hadir dari kelompok wartawan, mahasiswa, dosen, intelektual publik, seniman, pengacara, atau aktivis partai politik atau organisasi-organisasi non-pemerintah yang tinggal di perkotaan, melainkan pula hadir dari lembaga-lembaga adat maupun aktivis sosial di kampung atau pedesaan. Alasannya, kategorisasi dan definisi kelas menengah yang bias urban community tersebut tidak banyak membantu dalam menjelaskan fenomena kelas menengah dalam kasus Sakai. Sehingga, acuan mendasar yang digunakan dalam mengidentifikasi kelas menengah Sakai seperti dimaksud tulisan berikut adalah aktivisme di ruang publik dalam memperjuangkan kepentingan kelompoknya, sehingga memungkinkan mereka menikmati status sosial yang lebih tinggi dari mayoritas anggota masyarakat lain dalam komunitas mereka. Aktivisme KMS tersebut diekspresikan melalui gerakan masyarakat sipil (civil society), baik melalui perkumpulan atau organisasi non-pemerintah, LSM, ikatan, paguyuban maupun instrumen gerakan sosial lain.

Brief Review Perkumpulan KMS
Berbasis pemukiman di wilayah administratif Kabupaten Bengkalis, Riau, tepatnya di dua Kecamatan yakni Mandau dan Pinggir, Sakai merupakan salah satu suku asli (indegeneous people) di Riau yang dengan populasi diperkirakan mencapai hampir lima ribu jiwa. Telah disinggung bahwa selama berabad-abad orang-orang Sakai dipersepsikan sebagai komunitas marjinal. Bahkan berdasarkan terminologi resmi negara, mereka dikelompokkan ke dalam salah satu Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Indonesia (SK Mensos RI, Jakarta, 1999:2). Parsudi Suparlan mencatat bahwa sebelum wilayah Daratan Riau berkembang karena adanya pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah, dan sebelum kota Duri yang sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Mandau itu berkembang karena meningkatnya kegiatan eksplorasi minyak di Riau oleh PT. CPI di permulaan tahun 1970-an, orang-orang Sakai hidup secara terpencar-pencar di wilayah tersebut (Suparlan, 1995:69-71).
Informan yang kami wawancarai menceritakan bahwa wilayah yang sekarang dikenal sebagai Duri, ibu kota Mandau dahulu merupakan salah pusat pemukiman orang-orang Sakai. Namun, ketika Duri mulai dibangun dan dikembangkan, orang-orang Sakai yang menghuni wilayah-wilayah di sekitar kota tersebut diminta pergi dan diberi pesangon ala kadarnya sebagai kompensasi atas tanah dan pepohonan serta tanam-tanaman yang ada di ladang mereka. Tak pelak, orang-orang Sakai semakin tergusur. Mereka berpindah ke daerah yang lebih pedalaman, menjalani kehidupan secara marjinal dan terbelakang secara sosial, ekonomi dan politik (Wawancara Yatim, 12/10/2005).
Hampir dipastikan tidak semua orang Sakai merelakan diri menjalani kehidupan dengan kondisi demikian. Meski tidak banyak dari mereka yang mampu melawan konstruksi sosial yang mengakibatkan kondisi mereka menjadi demikian. Sebab itu, adalah fenomena menarik ketika dewasa ini kita mulai menyaksikan kegairahan orang-orang Sakai memperjuangkan aspirasi mereka melepaskan diri dari telikungan keterbelakang, terlebih hal tersebut dilakukan melalui kerja-kerja organisasi dan gerakan sosial yang sistematis. (Acuan kekhususan waktu [dewasa ini] menjadi penting karena kita tidak ingin memotret KMS secara ahistoris dan abstrak). Mobilisator gerakan adalah kelompok kelas menengah mereka. Sekadar tambahan, dengan mendasarkan pada perbincangan teoritis sebelumnya, terminologi kelas menengah digunakan di sini untuk merujuk pada orang-orang Sakai yang akibat aktivisme mereka di ruang publik, menjadikan mereka memiliki status sosial lebih tinggi dibanding mayoritas anggota masyarakat. Jadi, status sosial tersebut didapatkan berkat aktivisme yang dilakukan di ruang publik terutama dalam memperjuangkan kepentingan kelas atau kelompok mereka, baik melalui organisasi sipil maupun gerakan individual.
Terkait dengan gerakan KMS yang dilakukan melalui pembentukan perkumpulan atau organisasi, antara lain kita menyaksikan HPPMS, IPSR, dan LAMSR. Melalui organisasi-organisasi tersebut, mereka menyuarakan aspirasi sosial, politik, ekonomi maupun budaya kelompok mereka baik kepada pemerintah daerah, atau perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah mereka. Di luar perkumpulan yang telah disebutkan, disaksikan pula aktivisme anggota KMS di ruang publik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat mereka, tetapi dilakukan secara individul. Meski demikian, perlu segera disusulkan betapapun aktivisme kelompok kedua tersebut sesungguhnya tidak sepenuhnya individual. Sebab, biasanya mereka ditopang basis lembaga tertentu, tetapi bukan oleh perkumpulan yang berbasis primodialisme etnisitas atau kesukuan.
Satu-satunya perkumpulan yang memediasi aktivisme pemuda pelajar, dan mahasiswa Sakai adalah HPPMS. Berpusat di Pekanbaru semenjak didirikan pada 28 Oktober 2000, HPPMS merupakan hasil pergumulan berbagai isu dan peristiwa dalam komunitas mereka, yang melahirkan keperihatinan dan kepedulian para pemuda, pelajar dan mahasiswa yang belakangan memupuk semangat solidaritas melalui pembentukan perkumpulan. Inisitif pembentukan perkumpulan, seperti disebutkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, lebih dari sekedar membangun silaturrahmi antara para anggotanya, melainkan yang lebih mendasar adalah menggalang solideritas anggota guna peningkatan sumber daya generasi muda dan pelestarian otentitias adat budaya Sakai.
Inisiator pembentukan perkumpulan HPPMS adalah Sahrir, seorang pemuda asal desa Pematang Pudu, mahasiswa program Pascasarjana UNRI dan anggota DPRD Bengkalis. Sebelum terpilih menjadi anggota DPRD melalui pemilu 2004, Sahrir dikenal luas di Pekanbaru sebagai aktivis gerakan mahasiswa yang terlibat aktif dalam gerakan reformasi tahun 1998. Berkat aktivismenya dalam gerakan mahasiswa selama menempuh pendidikan sarjana di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Pekanbaru atas sponsor dari perusahaan swasta terbesar yang bergerak di bidang perminyakan berbasis di Riau; tidak mengejutkan apabila Sahrir memiliki jaringan luas di kalangan elit politik Riau dan utamanya Bengkalis sehingga memungkinkan dirinya bergabung dengan partai Golkar, yang kemudian menghantarkan dirinya menjadi anggota legislatif. Menjadi Ketua Umum HPPMS untuk periode pertama kali, Sahrir mencerminkan profil sedikit dari anggota masyarakat Sakai yang mengenyam berpendidikan hingga tingkat sarjana dan berhasil berkat kompetensi kecendikiawanan tersebut.
HPPMS bukanlah organisasi mahasiswa dengan basis massa melimpah, setidaknya dikarenakan secara faktual anggota masyarakat Sakai yang hingga dewasa ini mengenyam pendidikan masih relatif sedikit. Berdasarkan wawancara Sahrir dengan reporter sebuah koran lokal di Riau, disebutkan bahwa sekitar 52 anak Sakai sekarang sedang menempuh studi di pelbagai Perguruan Tinggi di Pekanbaru (Dumai Pos, 3/10/2005:9-10). Para mahasiswa tersebut sebagian besar merupakan pegiat sekaligus lokomotif HPPMS. Betapapun perkumpulan ini melingkupi pemuda non-mahasiswa dan pelajar tingkat SMU atau di bawahnya, namun tidak banyak eksponen kedua kelompok ini yang aktif dalam kepengurusan HPPMS.
Telah dijelaskan sebelumnya, misi dan cita-cita perkumpulan adalah menggalang solideritas kebangkitan masyarakat Sakai. Solideritas atas nama kebangkitan dinilai relevan mengingat konstruksi tentang Sakai selama ini sebagai komunitas terbelakang perlu dilawan dengan menciptakan konstruksi identitas tandingan: sebagai kelompok terdidik dan aktif dalam gerakan sosial. Sejauh pengamatan kami, aktivisme HPPMS masih sederhana: mencari dan mengelola dana beasiswa bagi anak-anak Sakai yang menempuh studi Perguruan Tinggi, memfasilitas pertemuan-pertemuan terutama yang menyangkut penguatan identitas budaya mereka.
Telah disinggung, betapapun HPPMS mencantumkan kata “Pemuda” dalam identitas resmi perkumpulan, namun secara faktual sayap pemuda non-kampus tidak mendapat ruang memadai. Sebagian mereka dilibatkan terutama pada saat-saat pelaksanaan kegiatan tertentu, tetapi tidak pada saat-saat perancanaan. Sekretariat HPPMS yang berada di Pekanbaru juga menyulitkan kelompok Sakai pemuda di Duri untuk terlibat aktif dalam setiap aktivitas organisasi. Merasa tidak banyak tempat untuk terlibat dalam penentuan arus kegiatan organisasi, ditambah dengan persepsi bahwa aspirasi yang tidak tersalurkan melalui HPPMS, beberapa anggota dari sayap pemuda Sakai di Duri belakangan mendeklarasikan perkumpulan baru: IPSR.
Didirikan pada 2001 dengan basis kegiatan di Duri, IPSR mulanya bergerak di bidang ketenaga-kerjaan. Visi dan misi IPSR difokuskan untuk memperjuangkan agar anak-anak Sakai dapat dipekerjakan di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Duri. “Memang belum banyak yang dapat kita lakukan”, demikian menurut Suhardi, “tapi dengan IPSR kita menjadi lebih diperhitungkan. Melalui oganisasi, keberadaan anak-anak Sakai diakui”. Selain di bidang ketenaga-kerjaan, IPSR kegiatan berfokus pada peningkatan SDM, dengan cara mencari bantuan beasiswa bagi anak-anak Sakai. Untuk kepentingan peningkatan SDM tersebut, IPSR sering memfasilitasi pelatihan-pelatihan bagi anak-anak Sakai, guna menyiapkan agar mampu menangkap kesempatan-kesempatan kerja di perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di sektor industri dan pertambangan yang beroperasi di lingkungan mereka. (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).
Lokomotif sekaligus Ketua Umum pertama IPSR adalah Suhardi. Seperti halnya Sahrir, Suhardi merupakan potret generasi muda Sakai yang sudah mengalami modernisasi. Menyelesaikan sarjana di Perguruan Tinggi Swasta di Jogyakarta, Suhardi kini bekerja sebagai karyawan tetap di kelompok perusahaan Pertamina pada bagian Enginering dan pada saat-saat tertentu diminta menjadi Humas Perusahaan (public relation) utamanya apabila berhubungan dengan masyarkat Sakai. Juga seperti halnya Sahrir, Suhardi pernah menjadi calon anggota legislatif pada pemilu 2004 dari wilayah pemilihan Kecamatan Pinggir meski dirinya tidak seberuntung Sahrir yang kini duduk dilegislatif. Suhardi kalah dalam pesta demokrasi 2004, karena, sebagaimana pengakuannya, “basis utama dukungan untuk saya ada di Mandau, tapi saya ditempatkan untuk pemilihan daerah Pinggir” (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).
Tetapi agaknya yang membedakan Suhardi dengan Sahrir adalah lingkungan keluarga Suhardi yang merupakan kelompok elite adat Sakai dan tuan tanah di Duri. Ini tampaknya menjadikannya tidak begitu sulit untuk mengenyam pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Kakek Suhardi, Ujang Ganti, merupakan Batin Tertinggi Sakai dengan gelar Batin Betuah, sementara bapaknya, Abdul Karim adalah mantan karyawan tetap Pertamina, yang kini menjadi kontraktor di Duri. Suhardi berasal dari lingkungan KMS yang tidak hanya berpengaruh di komunitas Sakai, melainkan pula terhadap pemerintah daerah Bengkalis. Keluarga Suhardi memiliki posisi berpengaruh di Duri, terlihat bagaimana pendapat mereka dipertimbangkan dalam penentuan jabatan-jabatan publik di Bengkalis, setidaknya di wilayah yang menyangkut kepentingan komunitas Sakai.
Melalui IPSR, Suhardi telah mempelopori modernisasi dan mempraktikkan pola-pola masyarakat modern dalam menyuarakan kepentingan-kepentingan sosial-politik dan ekonomi mereka. Agaknya menarik dicatat, dalam menyalurkan aspirasi mereka, Suhardi tampaknya tidak begitu antusias menyampaikan aspirasi melalui aksi-aksi demontrasi di lapangan. Berdasarkan wawancara, Suhardi lebih cenderung memilih menyampaikan aspirasi masyarakat Sakai melalui pola-pola diplomasi dan diskusi. Tetapi, demikian Suhardi menuturkan, kalau pendekatan demikian sudah tidak dapat membuahkan hasil, maka “aksi-aksi lapangan melalui demonstrasi baru boleh digunakan” (Wawancara Suhardi, 15/10/2005)..
Institusi civil society berikutnya adalah LAMSR. Didirikan pada tahun 1999, LAMSR merupakan lembaga adat dengan basis kegiatan di Duri yang merupakan rerpresentasi pimpinan adat masyarakat Sakai. Visi LAMSR adalah melakukan penguatan identitas kultural masyarakat adat Sakai guna membela dan mendapatkan hak-hak sosial-politik dan ekonomi komunitas yang ditujukan untuk mengurangi ‘keterbelakangan’ dan kemiskinan yang dialami masyarakat Sakai. Didirikannya kembali LAMSR setelah dalam waktu yang lama kelembagaan adat Sakai mengalami kevakuman memiliki tujuan utama untuk membantu komunitas Sakai menjadi modern agar mampu berpartisipasi dalam proses-proses modernisasi di satu pihak, sembari tetap mempertahankan otentititas identitas kultural mereka di pihak lain.
Lokomotif yang sekaligus Ketua Umum LAMSR, Muhammad Yatim merupakan potret figur kharismatik yang selalu diterpa kegelisahan mendalam atas kondisi yang dialami masyarakat Sakai. Meskipun hanya sempat mengeyang pendidikan Sekolah Rakyat (SR), setingkat Sekolah Dasar (SD) pada masa sekarang, kecermelangan pikiran-pikiran Yatim menjadikannya sempat puluhan tahun berkerja di perusahaan internasional yang bergerak di bidang perminyakan, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil pensiun dini. Selain memiliki keluasan wawasan terhadap segala pernik menyangkut identitas kultural masyarakat adat Sakai, Yatim juga memiliki kemampuan retorika dan artikulasi lisan yang sistematis sehingga dirinya acapkali menjadi rujukan utama dalam setiap hal yang berkaitan dengan masyarakat Sakai.
Selama wawancara terungkap gagasan menggebu-gebu Yatim atas sebuah proyek kebangkitan Sakai. “Alasan mengambil pensiun dini”, demikian dia mengisahkan, “adalah agar memiliki waktu lebih banyak untuk mencurahkan perhatian kepada masyarakat”. Yatim menuturkan, “pengalaman saya berkunjung di beberapa daerah di Indonesia, saya menyaksikan orang-orang lain maju, dan saya ingin berbuat sesuatu agar masyarakat saya dapat maju seperti mereka”. Atas alasan tersebutlah, bersama elite adat Sakai lainnya, Yatim mengambil inisiatif merevitalisasi lembaga adat Sakai dengan membentuk LAMSR.
Dinamika gerakan civil society masyarakat adat Sakai sesungguhnya tidak hanya dihadirkan KMS di Duri. Masyarakat adat Sakai yang hidup di kampung juga memperlihatkan geliat menggembirakan. Hal ini tampak terutama pada saat mereka tidak lagi dapat bersabar dalam menghadapi penyerobotan lahan yang dilakukan pihak luar, mereka menggalang solideritas dengan aksi-aksi demonstrasi. Berdemontrasi di DPRD II atau bahkan DPRD I untuk menyampaikan aspirasi merupakan hal sering dilakukan. Demonstrasi sebagian besar dipicu kasus konflik pertanahan, menuntut pelibatan tenaga kerja tempatan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar desa mereka, atau kasus-kasus lain yang menyangkut pemenuhan kepentingan komunitas mereka. Pada bagian berikut akan dipaparkan bagaimana artikulasi gerakan civil society KMS dalam memperjuangkan kepentingan sosial-politik, pendidikan dan lapangan pekerjaan, serta penguatan identitas kultural mereka.

Agenda dan Artikulasi Pemikiran KMS
Menangkap Peluang Politik Baru
Peluang politik baru terbuka bagi KMS untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam peristiwa politik lokal menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan diberlakukannya otonomi daerah. Melalui pembahasan berikut, kami hendak memperlihatkan bagaimana anggota KMS menanggapi situasi yang berkembang, dan, melalui perkumpulan-perkumpulan primordial atau instrumen civil society, mereka berusaha meningkatkan partisipasi dalam arena perpolitikan daerah. Ini membawa sebuah dimensi baru bagi konstruksi publik menyangkut identitas Sakai, sebuah konstruksi yang mencoba menyoroti Sakai sebagai kelompok berpendidikan, maju dan peka terhadap perkembangan politik. Untuk menganalisa masalah ini, kami akan menyoroti bagaimana para anggota KMS dan perkumpulan-perkumpulan sipil menangkap peluang untuk memperluas partisipasi politik mereka dalam arena politik lokal.
Betapapun tidak secara tegas menyatakan sebagai gerakan politik, kehadiran organisasi masyarakat sipil (civil society) yang dimotori kelompok KMS tidak otomatis apolitis. Mereka acapkali menampilkan diri sebagai kelompok penekan (pressure group). Meskipun dalam skala relatif terbatas, apa yang mereka lakukan cukup mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik pemerintah di daerah. Terpilihnya Nurcahaya, perempuan Sakai menjadi camat pertama Kecamatan Pinggir pada 2004 memperlihatkan bagaimana para anggota KMS menangkap peluang dalam kontestasi politik guna meningkatkan partisipasi mereka di lingkungan pemerintahan daerah saat pergantian camat Mandau dan Pinggir. Negosisi-negosiasi antara perwakilan KMS, baik yang menggunakan bendera LAMSR, aliansi para Batin Sakai, perkumpulan pemuda, maupun dukungan terbuka yang disampaikan oleh beberapa anggota KMS melalui dukungan resmi yang disampaikan kepada Bupati atau stateman dukungan tokoh pemuda Sakai di koran-koran lokal; memperlihatkan bahwa terpilihnya representasi orang Sakai untuk menduduki jabatan publik tersebut, bukan tanpa melewati perjuangan keras.
Nurcahaya menggambarkan kepada penulis bahwa proses terpilihnya dia sebagai camat Pinggir “melewati proses panjang dan berliku” (Wawancara Nurcahaya, 13/10/2005). Nurcahaya adalah mantan Lurah di desa berbasis Sakai yakni desa Balai Alam dan desa Gajah Sakti. Kariernya di pemerintahan dimulai ketika dia terpilih sebagai pegawai rendahan di lingkungan Kecamatan Mandau, beberapa saat setelah menyelesaikan pendidikan tingkat diploma di APDN. Karier Nurcahaya di pemerintahan menanjak perlahan, dia pernah menduduki semua jabatan kepala seksi di Kecamatan Mandau. Maka, tidak mengejutkan pada saat masa kepemimpinan Ridwan Yazid sebagai Camat Mandau akan berakhir, beberapa nama calon seperti Ridwan Yazid dan Khalid Yusuf menguat, tanpa terkecuali nama Nurcahaya.
Menurut salah seorang informan, nama Nurcahaya dimunculkan sesaat setelah Bupati Bengkalis, Samsyurizal menelpon beberapa tokoh Batin Sakai agar merekomendasikan nama calon camat Mandau. Setelah melakukan rapat, para pimpinan adat Sakai bersepakat mengusulkan Nurcahaya. Tidak sekedar itu, aliansi para Batin Sakai dibawah pimpinan Muhammad Yatim juga menemui Bupati Syamsurizal guna menegaskan dukungan mereka kepada Nurcahaya. Masih menurut informan yang sama, Bupati dikabarkan menyambut positif rekomendasi para pimpinan adat Sakai tersebut. Namun, dukungan Bupati Syamsurizal terhadap Nurcahaya menghilang sesaat setelah aliansi masyarakat dari pendukung calon camat lain di Mandau juga menemui Bupati Syamsurizal dan menegaskan dukungan terhadap calon mereka. (Wawancara Yatim, 13/10/2005, dan Suhardi, 15/10/2005)
Munculnya nama Nurcahaya sebagai calon Camat Mandau sempat memunculkan kontroversi di lingkungan masyarakat Mandau. Seperti terungkap di koran lokal, persoalan keperempuanan dan ke-Sakai-an menjadi alasan yang acapkali mengemuka guna menolak pencalonan Nurcahaya. Para pendukung Nurcahaya baik dari tokoh-tokoh adat maupun tokoh pemuda merespon statemen di koran, dengan mengemukakan alasan-alasan perlunya wakil dari orang Sakai memimpin Mandau. Namun saat optimisme merekomendasikan Nurcahaya sebagai Camat Mandau mulai memudar, para aktivis KMS bersepakat mengalihkan dukungan mereka kepada Nurcahaya dari sebagai calon camat untuk Mandau menjadi calon camat Pinggir, sebuah kecamatan yang baru dimekarkan dari Mandau. Setelah melewati negosiasi ketat, akhirnya Bupati Syamsurizal menetapkan Nurcahaya sebagai camat Pinggir. (Wawancara Yatim, 13/10/2005, dan Suhardi, 15/10/2005)
Negosiasi-negosiasi politik sebagaimana dipaparkan di atas menggambarkan bahwa orang-orang Sakai sangat adaptif terhadap peluang-peluang politik baru. Hal ini, demikian dipaparkan Suhardi, merupakan gaya orang (kelas menengah, red.) Sakai dalam mendekonstruksi narasi dominan yang dicangkokkan pihak luar terhadap identitas komunitas mereka. Sakai tidak tampil sebagai komunitas yang silent (diam) dan menghindar dari kerumunan orang-orang luar sebagaimana dicitrakan banyak orang (Lihat, Tabrani, 2002:43-48), melainkan peka, bahkan dalam membaca momentum politik tertentu.
Konstruksi tentang identitas KMS sebagai komunitas yang peka membaca peluang-peluang politik baru, diperkuat dengan terpilihnya dua anggota masyarakat Sakai: Sahrir dan Amril Mukminin, sebagai anggota legislatif Bengkalis pada pemilu 2004. Sahrir, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, adalah mantan aktivis mahasiswa di Pekanbaru pada masa gerakan reformasi tahun 1998. Pergaulannya yang luas dengan elit politik lokal di Pekanbaru dan Bengkalis, ditambah dengan basis massa yang solid, tidak mengejutkan ketika berhasil menghantarkannya sebagai anggota legislatif Bengkalis dari Partai Golkar. Demikian pula Amril Mukminin, mantan kepala Desa Muara Basung yang terpilih sebagai anggota legislatif Bengkalis dari partai yang sama. Terpilihnya Amirul Mukminin sebagai anggota legislatif, seperti diceritakan istrinya, Kasmiyati, tidak lepas dari aliansi longgar dan dukungan beberapa kepala desa berdarah Sakai di wilayah pemilihan Pinggir (Wawancara Kasmiyati, 13/10/2005).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, orang-orang Sakai sama sekali terpinggirkan dalam pemerintahan daerah. Mereka juga tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan hak-hak sosial-politik, budaya dan ekonomi mereka. Bersuara atau melakukan protes atas lepasnya lahan mereka yang diambil secara paksa oleh pihak luar, mengakibatkan mereka harus berurusan dengan kepolisian dan dipenjarakan dalam waktu relatif lama (Wawancara Yatim, 13/10/2005). Sekarang, di saat era keterbukaan dan kebebasan berpendapat mendapat tempat, mengadakan rapat-rapat dimana pesertanya dapat berbagi gagasan dan informasi menjadi cara yang efektif tidak hanya memperkuat rasa persatuan di antara sesama orang Sakai, tetapi juga untuk mengeksplorasi cara-cara mencapai keterwakilan yang lebih besar di lingkungan pemerintahan. Suhardi menceritakan kepada penulis bahwa guna meningkatkan keterwakilan orang-orang Sakai yang bergiat di institusi pemerintahan, perkumpulan yang dipimpinnya akan lebih intensif melakukan pendekatan dengan pemerintah supaya para sarjana Sakai mendapat perioritas dalam setiap momentum rekruitmen PNS di daerah (Suhardi, 12/10/2005)
Suatu hal yang dapat dipetik dari pemaparan di atas adalah kebangkitan kesadaran KMS dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik atau posisi politik tertentu di daerah, bahkan sebagian di antaranya didapatkan berkat aktivisme mereka sebelumnya dalam gerakan civil society. Memiliki wakil sebagai Camat Pinggir dan dua orang lainnya sebagai anggota legislatif di Bengkalis membawa kemungkinan-kemungkinan baru bagi orang-orang Sakai untuk berpartisipasi dalam politik lokal dalam skala yang lebih signifikan dan menentukan. Tentu saja hal demikian akan membangkitkan harapan-harapan baru bagi KMS untuk memperbaiki kondisi masyarakat mereka.

Pendidikan dan Lapangan Pekerjaan
Pendidikan dan lapangan pekerjaan merupakan faktor-faktor yang kritis dan menentukan tingkat partisipasi orang-orang Sakai dalam politik lokal dan lapangan pekerjaan baik di institusi pemerintahan maupun sektor-sektor industri atau lainnya. Hampir semua informan menceritakan kepada peneliti betapa sulitnya orang-orang Sakai untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini pada gilirannya ikut menentukan rendahnya tingkat partisipasi mereka dalam setiap lapangan pekerjaan.
Berdasarkan wawancara dengan Ketua Umum IPSR, Suhardi, terungkap bahwa dua isu utama komunitas Sakai yang membutuhkan penyelesaian mendesak adalah persoalan pendidikan dan lapangan pekerjaan. Mengingat basis pendidikan merupakan modalitas bagi terwujudnya transformasi sosial-ekonomi, sementara tingkat pendidikan mayoritas anggota masyarakat Sakai masih rendah, IPSR mendesak pemerintah agar memberikan kuota khusus dari APBD atau APBN di setiap tahunnya untuk dialokasikan guna kepentingan pendidikan anak-anak Sakai hingga tingkat Perguruan Tinggi. IPSR juga meminta dispensasi Perguruan Tinggi Negeri setidaknya di Pekanbaru agar memberikan kuota khusus bagi beberapa orang anak-anak Sakai untuk diterima tanpa melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).
Senada dengan Suhardi, Yatim berpandangan bahwa “Jika kita menunggu anak-anak kami untuk lulus SPMB, atau mendapatkan beasiswa berdasarkan prestasi, anak-anak Sakai tidak akan pernah mendapatkan tempat di Perguruan Tinggi Negeri”. Yatim dengan nada kritis mengatakan :
Anak-anak kami yang di sekolah mulai dari SD sampai SMP, kalau main bola kaki saja pun tidak tahu bolanya. Kami cuma tahu bola ojol. Jadi, dalam hal ini, pemerintah memberikan dana bantuan beasiswa dengan memakai kriteria berprestasi. Padahal, kita berprestasi apa? Untuk olah raga saja pakai bola kaki dari ojol, karena tidak ada perlengkapan olah raga. Kalau fasilitas pendidikan di tempat sekolah anak-anak Sakai begini terus, sampai kapan pun anak Sakai tidak akan mendapatkan kesempatan beasiswa, bila pemerintah memakai kriteria berprestasi. (Wawancara Yatim, 12/10/2005)
Alih-alih menyelesaikan pendidikan hingga sarjana, mayoritas anak-anak Sakai hanya menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar atau tidak sekolah. Selama melakukan pemantauan di lapangan, kami mendapati sebagian besar anak-anak di Desa Kuala Penaso tidak mampu menyelesaikan sekolah Dasar. Muhammad Afar, seorang informan yang sekaligus ketua RW di dusun tersebut menyatakan saat ini di dusun Jiat Kramat hanya ada dua orang anak Sakai yang sedang sekolah di tingkat menengah pertama (SLTP). Pemandangan tragis peneliti temukan di sebuah dusun pemukiman Sakai di pinggir jalan yang merupakan wilayah Kecamatan Pinggir. Anak-anak dari 12 kepala keluarga Sakai yang tinggal di situ, hanya dua orang yang saat ini bersekolah di tingkat dasar. Belasan anak usia SD lainnya, tidak bersekolah, meskipun lokasi pemukiman mereka hanya berjarak 200 meter dari jalan lintas Duri-Pekanbaru.
Hingga saat sekarang, memang sudah ditemukan beberapa anggota KMS yang berhasil berkat pendidikan yang mereka tempuh hingga tingkat Perguruan Tinggi. Nurcahaya, Sahrir, dan Suhardi mewakili sedikit di antara mereka. Nurcahaya, Camat Pinggir menceritakan betapa sulitnya dia menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA, sebelum akhirnya terpilih sebagai peserta program Departemen Sosial tentang peningkatan SDM Sakai untuk dikuliahkan di APDN. Demikian pula Sahrir, anggota dewan di DPRD Bengkalis yang menyelesaikan pendidikan sarjananya karena program dari perusahaan swasta di Duri yang bergerak di bidang perminyakan. Hal serupa juga dialami Suhardi. Suhardi mendapatkan bantuan PT. CPI, lantaran orang tuanya, Abdul Karim merupakan sedikit diantara orang Sakai yang menjadi karyawan tetap di perusahaan tersebut. Di luar ketiga nama tersebut, perlu disebutkan pula nama Muhammad Aghar, orang Sakai yang sekarang sedang menempuh pendidikan tingkat doktoral di salah satu Perguruan Tinggi di Jerman, berkat fasilitasi peneliti asal Jerman, Hans Kalipke. Sekedar tambahan, perlu dikemukakan bahwa saat ini tercatat sekitar 52 anak Sakai sedang menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Hingga saat ini, mereka mewakili tidak lebih dari satu persen anak-anak Sakai yang berkesempatan merasakan pendidikan sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Realitas pendidikan SDM Sakai yang masih rendah tentu saja menyulitkan anak-anak Sakai untuk dapat mengakses lapangan pekerjaan di pemerintahan maupun sektor swasta. Nurcahaya mengungkapkan kepada peneliti bahwa dengan posisinya sebagai orang nomor satu di Kecamatan Pinggir sesungguhnya merupakan momentum strategis untuk memasukkan anak-anak Sakai bekerja di lembaga pemerintahan. Namun, demikian Nurcahaya menimpali, rendahnya tingkat pendidikan anak-anak Sakai menjadikannya sulit merekomendasikan mereka untuk menjadi pegawai negeri di instansi yang dipimpinannya. Dia mengaku hanya dapat memasukkan beberapa anak-anak Sakai untuk menjadi tenaga honorer pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Alih-alih ada yang menjadi PNS di pemerintahan tingkat I ataupun tingkat II, Nurcahaya dengan potret pendidikan anak-anak Sakai yang demikian ini di merasa tidak dapat berbuat apa-apa (Wawancara, 13/10/2005).
Mengekpresikan perasaan frustasi masyarakatnya, seorang aktivis pemuda Sakai di Kusumbo Ampai, Muhammad Naim mengatakan bahwa “sejak kecil saya ingin berubah, kami tidak ingin seperti orang tua kami, miskin dan tidak tahu baca-tulis. Kami ingin menjadi orang pintar dan berilmu”. Tapi, demikian Naim melanjutkan, “kami tidak melihat seorang pun yang sungguh-sungguh memberi perhatian terhadap persoalan orang-orang Sakai”. Lebih lanjut, dia merasa bahwa komunitas lain di luar mereka, termasuk di dalamnya orang-orang Melayu, “memandang orang-orang Sakai sebagai kelas yang rendah” (Naim, 11/10/2005).
Pararel dengan Naim, Suhardi mempercayai bahwa persoalan-persoalan yang melanda masyarakat Sakai dapat diselesaikan dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan guna melakukan gerakan yang sistematis dan terorganisasi. Perjuangan untuk kebangkitan Sakai hanya akan muncul dari kalangan orang-orang Sakai sendiri. “Kami tidak ingin masa depan anak-anak Sakai bernasib seperti mayoritas anak-anak segenerasi dengan kami atau generasi orang tua kami”, demikian kata Suhardi bersemangat (Suhardi, 15/10/2005). Seorang pengurus HPPMS di Pekanbaru yang kami temui dalam sebuah kesempatan seminar tentang Sakai beberapa waktu lalu mempercayai bahwa aktivisme mereka dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan perkumpulan HPPMS akan berdampak positif. “Dengan berorganisasi kami akan merubah cara pandang masyarakat kami, sehingga mereka akan mempertimbangkan pentingnya pendidikan. Sekarang, sudah mulai banyak anak-anak Sakai yang memandang pendidikan sebagai hal yang penting. Mereka juga aktif dalam kegiatan-kegiatan HPPMS” (Mahasiswa Sakai, 27/12/2005).
Kegelisahan atas kondisi pendidikan anak-anak Sakai menjadi alasan mendasar bagi Yatim mengambil pensiun dini dari pekerjaan di Pertamina. Tujuannya, agar dia dapat memberikan perhatian lebih banyak terhadap kondisi orang-orang Sakai. Menurut Yatim keterbelakangan anak-anak Sakai dalam hal pendidikan dan peluang pekerjaan merupakan akibat dari minimnya perhatian dan keseriusan pemerintah terhadap program peningkatan kualitas SDM anak-anak Sakai. “Kalau pemerintah serius hendak memperhatian peningkatan SDM Sakai, maka berikan kepada setiap orang-orang Sakai lahan sawit atau sejenisnya masing-masing 3-4 hektar untuk setiap kepala keluarga”. Dengan modal perkebunan sawit tersebut, Yatim percaya bahwa kondisi ekonomi orang-orang Sakai dipastikan akan membaik sehingga mereka dapat memberi perhatian terhadap peningkatan kualitas SDM anak-anak mereka. “Berbekal pendidikan”, demikian Suhardi menambahkan, “otomatis anak-anak Sakai dapat memanfaatkan peluang-pelung pekerjaan baik di institusi pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan swasta atau sektor-sektor industri lainnya” (Suhardi, 15/10/2005).

Penguatan Identitas Kultural
Kekuatan ekonomi kapitalis bukan satu-satunya yang menyerbu dan memarjinalkan orang-orang Sakai. Lainnya, adalah kekuatan politik baru bernama negara. Tempo dulu, orang Sakai memiliki perbatinan berikut wilayah sendiri-sendiri. Mereka hidup secara harmoni dan satu sama lain saling menghargai batas wilayah masing-masing (Wawancara Yatim, 12/10/2005). Harus diakui, masyarakat Sakai sangat kokoh dalam memegang adat istiadat dan tradisi leluhur mereka. Melalui kelembagaan adat pula mereka melestarikan kepemimpinan tradisional dalam satuan wilayah mereka masing-masing, yang kadangkala jauh memiliki wibawa dibandingkan dengan kepemimpinan formal-negara.
Konsep satuan wilayah pemukiman demikian kemudian diporak-porandakan ketika pemerintah pusat melalui UU No. 5/1979 memberlakukan sistem pemerintahan desa. Batas-batas wilayah perbatinan yang pada masa sebelumnya ditetapkan secara alamiah berdasarkan batas sungai di pisah-pisah menjadi satuan wilayah desa, dan beberapa klan disatukan menjadi satuan wilayah kecamatan. Akibatnya, “kampung yang sebelumnya dipimpin seorang batin”, demikian Yatim menyatakan, “kini dipimpin seorang kepala desa yang tidak tahu-menahu masalah adat”. (Wawancara Yatim, 12/10/2005) Tak pelak, lembaga perbatinan yang sebelumnya memiliki otoritas tertinggi dalam mengatur persoalan adat dan sosial-politik dalam komunitas Sakai, menjadi kehilangan otoritas sama-sekali. Lembaga adat mengalami domestifikasi dan tidak lagi memiliki peranan dan kekuasaan dalam mengatur komunitas adat mereka sendiri.
Penyeragaman (uniformity) yang dipompakan dari satu mesin birokrasi raksasa dari pemerintah pusat hingga ke tingkat desa telah menafikan keserba-ragaman (diversity). Padahal bagi komunitas Sakai, keserbaragaman justru yang selama ini menjadi salah satu pilar utama terbangunnya pola hubungan harmonis antara berbagai kelompok dalam komunitas mereka. Maka, setelah mengalami marjinalisasi sumbu-sumbu perekonomian meraka akibat kapitalisasi, sistem perbatinan dan adat mereka pun didomestifikasi. Apabila hal ini tidak dilakukan revitalisasi, tidak mustahil generasi muda Sakai akan mendapati bahwa sistem perbatinan yang mereka bangggakan tidak lebih dari sekadar legenda dan nyanyian sebelum tidur, tidak lagi menyejarah. (wawancara Suhardi, 15/10/2005)
Atas alasan-alasan tersebut, KMS utamanya para aktivis adat seperti Yatim dan Bosniar berinisiatif merevitaslisasi kelembagaan adat Sakai melalui pembentukan LAMSR. Inisiatif ini mencerminkan penilaian kembali dan penegasan kembali yang mereka lakukan atas ‘tradisi’ mereka sendiri. Bagi KMS yang terlibat, ditegaskan dan dihidupkannya kembali hukum adat penting artinya bagi penegakan marwah orang-orang Sakai. Dihidupkannya kembali LAMSR juga dipandang kritis bagi hak-hak orang Sakai. Secara khusus para aktivis LAMSR yang diwawancarai menyatakan bahwa LAMSR akan mencegah terjadinya eksploitasi orang-orang Sakai orang pemerintah dan perusahaan kapitalis, yang sudah sering menyerobot tanah mereka atas nama pembangunan. Pegiat KMS yang terlibat dalam revitalisasi kelembagaan adat percaya bahwa mereka perlu menyatukan pandangan sehingga mereka akan memiliki satu suara yang lebih kuat untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Kemampuan untuk berbicara atas nama orang Sakai adalah kekuasaan paling penting bagi LAMSR. Namun, kehadiran LAMSR berikut klaim sebagai lembagai adat tertinggi atas nama komunitas Sakai memang sempat memantik kontroversi dari beberapa pucuk pimpinan batin di Sakai. Abdul Karim, pemuka adat dari Batin Betuah, merupakan orang yang paling menampakkan pertentangan dengan pembentukan LAMSR. Menurutnya, pembentukan LAMSR tidak lepas dari kepentingan pribadi beberapa orang tertentu. Mereka mengklaim diri sebagai Batin, dan menguasai lahan-lahan masyarakat Sakai untuk dijual. Karim juga mengkritik pembangunan Balai Adat Sakai di Duri. Menurutnya, pembentukan Rumah Adat tersebut selain tidak pernah dikenal dalam sistem peradatan Sakai, juga mengundang pertanyaan karena dibangun di pinggir kota Duri, di wilayah yang sepi dan jauh dari basis tempat tinggal orang-orang Sakai (Wawancara Karim, 15/10/2005).
Tapi terlepas dari kontroversi tersebut, keberadaan LAMSR sejauh pengamatan di lapangan memperlihatkan efektifitas utamanya dalam peranannya sebagai mediator antara kepentingan masyarakat adat Sakai dengan pemerintah maupun perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah wilayah perkampungan Sakai. Bertolak belakang dengan pandangan Abdul Karim, Yatim menilai LAMSR merupakan intitusi yang cukup representatif dalam menyuarakan aspirasi masyarakat Sakai, setelah institusi ini kehilangan peranan sama-sekali dalam waktu lama akibat diterapkannya sistem pemerintahan desa pada masa awal pemerintahan Soeharto.
Terkait dengan persoalan bahwa kelembagaan adat pada masa Sakai klasik merupakan lembaga tertinggi yang kemudian hilang menyusul diberlakukannya UU No. 5/1979 tentang sistem pemerintahan desa; para elit adat tampaknya tidak berniat menegasikan eksistensi kepala desa dalam stuktur sosial mereka. Tidak sedikit kepala desa di wilayah pemukiman Sakai sekarang berasal dari komunitas Sakai. Sebab itu, menurut para Batin yang diwawancarai, yang lebih penting adalah bagaimana agar para Batin dan para kepala desa memiliki posisi setara dan membentuk kerjasama menuju tujuan-tujuan yang sama. Harapan orang-orang Sakai adalah bahwa kebanggaan menjadi orang Sakai akan pulih dengan memperkuat peran lembaga adat. Penanda identitas Sakai yang penting adalah memiliki Batin yang otoritatif, yang pada gilirannya dapat mewujudkan kebudayaan orang Sakai yang tertata dan bernilai tinggi serta otonomi bagi masyarakat Sakai.
Agenda jangka pendek perkumpulan ini antara lain sebagaimana diceritakan Yatim adalah penguatan eksistensi LAMSR. Melalui LAMSR, Yatim sedang bergulat untuk mewujudkan program pembangunan rumah adat Sakai di Duri, dan mewujudkan terbentuknya desa Pariwisata Sakai, yang terletak di Kusumbo Ampai. Hal lain yang menurut LAMSR merupakan latar belakang bagi kehadiran kembali perkumpulan ini adalah tidak adanya pengakuan pemerintah atas tanah dan hak-hak tanah lainnya yang menjadi milik masyarakat Sakai. Sebab itu, berjuang untuk mendapatkan pengakuan pemerintah atas hak-hak pertanahan mereka yang sebelumnya dirampas secara paksa oleh pihak luar merupakan agenda utama LAMSR (Wawancara Yatim, 12/10/2005). Memang apa yang sedang dipikirkan Yatim masih menyisakan perdebatan di lingkungan elite perbatinan Sakai, tetapi betapapun hal tersebut merupakan gagasan besar yang penting tidak saja untuk didiskusikan melainkan didukung berbagai pihak sehingga dapat menghasilkan output berupa penguatan identitas kultural masyarakat adat Sakai di masa mendatang.
Bertolak dari pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa KMS menginginkan agar komunitas mereka diperlakukan secara lebih terhormat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat yang kuat dan bernilai tinggi. Para informan dari KMS yang diwawancarai berniat melawan kategorisasi Sakai sebagai kelompok ‘primitif’ dan ‘terbelakang’ yang berkerja untuk menjustifikasi kurangnya partisipasi politik mereka dan marjinalisasi ekonomi yang mereka alami. Memiliki lembaga adat yang diakui, disamping memperbaiki tingkat pendidikan dan porsi orang-orang Sakai yang bekerja di pemerintahan dan lapangan kerja profesional lainnya, dipandang sebagai suatu yang substansial dalam menentang streotip-streotip negatif tersebut.
Di sini kita temukan sebuah upaya dari kalangan KMS untuk mengkontrusi narasi tentang diri mereka sendiri. Memiliki sebuah lembaga adat tampaknya merupakan salah satu cara untuk menunjukkan bahwa KMS benar-benar memiliki struktur yang ‘modern’ untuk menghadapi pelbagai masalah mereka dewasa ini. Hukum tradisional mereka yang sudah ditemukan kembali itu tentu tidak sama persis dengan yang ada dulu. Hukum ini merupakan sebuah kreasi yang relatif baru, —sebuah respon terhadap modernisasi yang kerapkali mengabaikan adat istiadat lama mereka. Melalui usaha keras LAMSR, kami membayangkan citra Sakai di masa mendatang akan berbeda, dalam hal bahwa orang-orang Sakai akan hadir dalam varian yang ‘modern’ sekaligus setia terhadap otentitias kultural mereka.

Kesimpulan
Pemaparan di atas menggaris-bawahi bahwa gerakan kelas menengah tidak mesti ditampilkan aktor-aktor yang hebat sehingga menimbulkan getaran pada struktur politik-kebangsaan. Barangkali konfigurasi KMS tidak seratus persen taat pada konseptualisasi teoritikus sosial kebanyakan saat mendefinisikan terminologi kelas menengah. Hal ini sesungguhnya bukan sesuatu yang patut dirisaukan. Sebab, melansir pandangan Heryanto, tidak ada istilah semacam kelas menengah yang mungkin dapat menunjukkan suatu kenyataan yang statis dan memiliki batasan yang jelas dan nyata (Heryanto:54). Terkadang, gerakan kelas menengah, setidaknya seperti dipresentasikan komunitas Sakai, muncul dari kalangan berbasis ekonomi sederhana dan bergerak dilingkup yang terbatas, tetapi mengingat perjuangan mereka yang sepi pamrih dalam membela hak-hak komunitas, menjadikan kelompok tersebut menikmati status sosial yang relatif lebih tinggi dari mayoritas anggota masyarakat umumnya.
Meski secara nominal merupakan kelompok terbatas, KMS telah melakukan hal-hal yang sepintas sederhana, tetapi menghadirkan akibat-akibat signifikan bagi konstruksi identitas masyarakat mereka secara luas. Menggalang pengumpulan dana beasiswa untuk anggota, menjadi fasilitator atas perayaan-perayaan adat, atau mengadakan pertemuan berkala sembari berdiskusi dengan tema-tema yang tidak berfokus seperti ditampilkan HPPMS; menyelenggarakan pelatihan-pelatihan guna membekali keterampilan anak-anak Sakai sehingga dapat dipekerjakan di perusahaan swasta seperti dilakukan IPSR; atau memperjuangkan penguatan peranan lembaga perbatinan sebagaimana dilakukan LAMSR, sesungguhnya merupakan aktivitas yang sepintas sederhana tetapi telah membidani kelahiran narasi baru tentang identitas Sakai.
Tidak berhenti di situ, anggota KMS pun setia membaca peluang politik yang memungkinkan mereka berpartisipasi dalam proses-proses kebangsaan secara lebih signifikan. Tulisan di atas memperlihatkan, terpilihnya Nurcahaya sebagai camat Pinggir semenjak 2004, tidak lepas dari perjuangan anggota kelas menengah mereka, baik melalui lembaga adat atau perbatinan, organisasi pemuda, —dan dalam batas-batas tertentu mahasiswa Sakai— maupun partisipasi anggota komunitas secara individual. Demikian pula, naiknya Sahrir dan Amril Mukminin; dua anggota komunitas, sebagai anggota legislatif di Bengkalis memang disadari tidak melulu berkat dukungan dari orang-orang Sakai semata. Tetapi, kemampuan tampil di ruang publik dan meyakinkan masyarakat luas akan kompetensi orang Sakai menjadi pemimpin, merupakan bagian kecil dari agenda besar mereka dalam mendefinisikan kembali konstruksi identitas Sakai di hadapan publik.
Apa yang menjadi agenda gerakan KMS agar dapat berpartisipasi dalam proses-proses kebangsaan dengan mendorong sebanyak mungkin pelibatan anggota mereka sebagai salah satu penentu kebijakan politik-kenegaraan, dengan menjadi camat, anggota legislatif, kepala desa ataupun sekedar menjadi pekerja di lembaga pemerintahan atau pun di sektor-sektor swasta, merupakan penanda bagi kehadiran babak baru konstruksi identitas Sakai. Jadi, betapapun secara kuantitatif aktivisme mereka memiliki spektrum terbatas, tidak disangsikan, resonansi akibat gerakan tersebut telah meruntuhkan narasi dominan perihal konstruk identitas Sakai sebagai komunitas yang monolitik: terbelakang, terpencil dan streotip-streotip sejenisnya. Adalah sulit memungkiri bahwa gerakan civil society sebagaimana dipelopori KMS telah memberikan konstribusi berharga bagi proses penciptaan kembali sebuah narasi tandingan tentang identitas Sakai yang telah mengalami modernisasi. [][]



DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Hikmat (ed.), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, (Jakarta: Tifa dan Interseksi Foundation, 2005)
Dumai Pos, 3 Oktober 2005.
Embong, Abdul Rahman, “The Culture and Practice of Pluralism in Postcolonial Malaysia”, dalam The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, Robert W. Hefner (ed.), (United States of America: University of Hawai’i Press, 2001), h. 59-85
Fauzan, Muhammad Uzair, “Politik Representasi dan wacana Multikulturalisme dalam Praktek Program Komunitas Adat Terpencil Kasus Komunitas Sedulur Sikep Bombong-Bacem, dalam Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Budiman, Hikmat (ed.), (Jakarta: Tifa dan Interseksi Foundation, 2005), h. 67-106
Foucault, Michel, Discipline and Punish: The Birt of the Prison, terj. Alan Sheridan, (New York: Pantheon, 1977)
Ghee, Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (ed.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993)
Gilbert, Bart Moore, Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics, (New York and London: Verso, 2000)
Gramsci, Antonio, Selection from the Prison Notebooks, (New Delhi: Orient Longman, 1996)
Heryanto, Ariel, “Intelektual Publik, Media dan Demokratisasi: Politik Budaya Kelas-Menengah di Indonesia”, dalam Menggungat Otoritarianisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia, Ariel Heryanto dan Sumit K. mandal (ed.), (Jakarta: Kompas, 2004), h. 47-116.
Http://www.katcenter.info/
Kahn, Joel S., Culture, Multiculture, Postculture, (London: Sage Publication, 1995)
____, “The Middle Class as a field of ethnological study” dalam Malaysia: Critical Perspektives: Essys in Honour of Syed Husin Ali, M.I. Said and Z. Emby (ed.), (Petaling Jaya: Malaysian Social Science Association, 1996), h. 12-33
Kang, Yoonhee, Untaian Kata Leluhur: Marjinalitas, Emosi dan Kuasa Kata-kata Magi di Kalangan Orang Petalangan Riau, Seri Monograf Pusat Penelitian dan Kebudayaan UNRI, Pekanbaru, 2005.
Kuntowidjoyo, “Muslim Kelas Menengah Indonesia dalam Mencari Identitas: 1910-1950”, dalam Jurnal Prisma, 11/1985, h. 35-51.
Maunanti, Yekti, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, (Yogyakarta: LkiS, 2004).
Nicholas, Colin, “Demi Orang Semai? Negara dan Masyarakat Semai di Semenanjung Malaysia”, dalam Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (ed.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 109-141
Picard, Michel, “Cultural Tourism, Nation-Building and Regional Culture: The Making of a Balinese Identity”, dalam Tourisme, Etnicity, and the State in Asian and Pacific Societes, Michel Picard and Robert E. Wood (ed.), (Honahulu: University of Hawai Press, 1997)
Rab, Tabrani, Nasib Suku Asli di Riau, (Pekanbaru: Riau Cultural Institute, 2002)
Said, Edward, Orientalism, (New York: Pinguin Book, 1978)
Suparlan, Parsudi, Orang Sakai: di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995)
Topatimasang, Roem (ed.), Orang-orang Kalah, (Yogyakarta: Insist, 2004)
Vickers, Adrian, Bali: A paradise Created, (Australia: Pinguin Books, 1989)
Walia, Shelley, Edward Said dan Penulisan Sejarah, (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Wawancara Abdul Karim (39), Pemuka Adat/Anak Batin Betuah, Duri, 15/10/2005.
Wawancara Anita, (33), Pjs. Kepala Desa Kusumbo Ampai, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.
Wawancara Bosniar, (37), Tokoh Adat dan Ketua Batin Penaso, Jiat Kramat, 12/10/2005.
Wawancara Kasmiati, (32), Kasi PMD Kecamatan Pinggir, Pinggir, 13/10/2005.
Wawancara Muhammad Yatim, (65), Ketua LAMSR, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.
Wawancara Muhammad Afar (54), Ketua RW di Dusun Jiat Kramat, Jiat Kramat, 12/10/2005.
Wawancara Muhammad Naim, (27), Tokoh Pemuda, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.
Wawancara Nurcahaya (48), Tokoh Sakai dan Camat Pinggir, Pinggir, 13/10/2005.
Wawancara Suhardi, (35), Ketua Umum Ikatan Pemuda Sakai Riau (IPSR), Duri, 14-15/10/2005.

Tentang Penulis

Muhammad Ansor adalah mahasiswa pascasarjana (doktoral) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, program studi Pemikiran Islam. Lahir di Topang, Bengkalis pada 13 Juli 1976. Selain sebagai Peneliti JSPDL dan Direktur Riset The Riau Institute, aktif pula sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Majlis Sinergi Kalam (Masika) ICMI (2006-2011). Karyanya antara lain Menakar Jiwa Suci: Perjalanan Sufistik Ibn Arabi, (penerjemah karya Ibn Arabi), (Jakarta: Hikmah, 2003); Catur Ilahi: Taktik dan Strategi Memenangkan Pergulatan Hidup, (penerjemah karya Ibn Arabi) (Jakarta: Hikmah, 2003); Rethingking Paradigma Kepemimpinan Riau, (co. editor), (Jakarta: KMPRJ, 2003); Politik Pelembagaan Syariat: Strategi dan Argumentasi PPP, PBB dan PKS di Sidang Tahunan MPR 1999-2000, dimuat dalam Jurnal Ulumuna, IAIN Mataram, Volume IX, Edisi 16, Juli-Desember 2005; Membangkitkan Otonomi Lokal: Dari Sejarah Pembentukan Kabupaten Rokan Hilir Hingga Implementasi Otonomi Daerah, (Pekanbaru: JSPDL, 2006