Rabu, 07 Oktober 2009

KORUPSI DAN KEMISKINAN DI RIAU

Peringatan Hari Anti Korupsi Dunia
Tanggal 9 Desember 2007



Korupsi dan kemiskinan adalah dua patologi sosial yang saling berkaitan. Dapat dikatakan, salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini adalah merajalela dan menggilanya praktik tindak pidana korupsi, mengapa ? sebab, kita tentu mafhum, potensi dan kekayaan negeri ini seharusnya tidak membuat rakyat menjadi miskin (mengalami kemiskinan). Faktanya justru sebaliknya. Penggangguran, gelandangan, dan pengemis semakin hari kian banyak dan bertebaran di setiap sudut kota. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2006, jumlah penduduk miskin mencapai 17,75 persen, setahun kemudian pada Maret 2007, angka tersebut meningkat menjadi 39,30 juta orang.

Tingkat kemiskinan yang begitu besar tersebut mengakibatkan masalah-masalah dasar lainnya, terutama pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran masyarakat, bila kondisi ini dibiarkan tentu dampaknya semakin parah bagi negeri ini. Dalam konteks ini, jika asumsi bahwa kemiskinan diakibatkan oleh penyakit korupsi, dapat dibayangkan betapa indonesia akan bebas dari penyakit kemiskinan ketika benar-benar korupsi bisa diberantas atau setidaknya ditekan hingga titik yang bisa ditoleransi.

Dalam survey lembaga Transparency International Indonesia (TII), Indonesia masih menduduki peringkat ke-143 diantara 179 negera di dunia dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan peringkat itu, indonesia menduduki peringkat ke-36 sebagai dengan pemberantasan korupsi terlemah di dunia. Angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tersebut masih dibandingkan Malaysia (5,1) dan Singapura (9,3). Di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, posisi indonesia hanya lebih baik dibandingkan Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos dan Papua Nugini.

Di Propinsi Riau, kasus kematian satu keluarga warga desa Serokan, Kandis, kabupaten Siak menjadi ironis, mengingat kematian tersebut mengisakan sejumlah hutang di warung, plus adanya racun serangga disekitar korban. Kondisi ini ironis karena propinsi Riau dikenal kaya raya dengan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) yang setiap tahunnya bertambah hingga mencapai triliunan rupiah. Untuk APBD dalam 3 tahun terakhir ini (2005-2007) angkanya mencapai Rp. 9 Triliunan. Untuk tahun 2007 ini, APBD Riau hampir mencapai 4,2 Triliun. Ini belum termasuk jumlah APBD Kabupaten/kota yang juga tidak jauh berbeda dari APBD Propinsi. Menurut data BPS Propinsi Riau jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan Rp. 214.034,- per kapita per bulan) di Riau bulan Maret 2007 sebesar 574,5 ribu jiwa (11,20 persen).

Praktik korupsi, kebocoran-kebocoran dana pembangunan dan APBD dan APBN, serta pungutan liar yang merajalela, telah menjadi penghalang bagi penciptaan kesejateraan masyarakat. Korupsi yang merajalela berdampak pada penderita/kemiskian rakyat.

Jika dirasionalisasikan angka kerugian akibat korupsi yang terjadi di Riau mencapai miliyaran rupiah, jika saja dana tersebut tidak dikorupsi, berapa jumlah masyarakat miskin yang terselamatkan, baik untuk sekolah ataupun untuk membeli susu ? berapa banyak jembatan yang dapat dibangun, berapa banyak jalan yang dapat diperbaiki ........................................ ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, namun dana tersebut “dimanfaatkan” oleh beberapa orang saja.

Untuk itu bersempena menyambut hari anti korupsi dunia pada tanggal 9 desember kami dari element NGO di Riau yang meliputi : Transparency International Indonesia (TII –Riau), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA –Riau), Kantor Bantuan Hukum (KBH –Riau), Satelit Gempur (SAGEM), Kelompok Diskusi Perempuan (KUDAPAN) dan Lembaga Pemberdayaan Aksi dan Demokrasi (LPAD), menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia khusus Riau untuk dapat bangkit untuk melakukan perlawan terhadap praktek korupsi. Karena dampak terbesar dari praktek korupsi adalah kemiskinan masyarakat.

Korupsi yang merajalela berdampak pada penderita dan kemiskian rakyat.