Kamis, 17 September 2009

komunitas hukum indonesia, teori perkawinan

Bidang hukum Islam yang sangat dekat dan erat dengan perilaku masyarakat Islam Indonesia adalah bidang hukum sosial keluarga yang di dalamnya meliputi perkawinan, warisan dan wakaf. Sebab peristiwa yang berkenaan dengan aturan tata nilai sosial tersebut pasti akan dialami dan dijalani oleh setiap muslim dalam perjalanan hidupnya.
Dengan dekatnya hukum sosial kekeluargaan ini dengan masyarakat Islam membuat Yahya Harahap mengatakan bahwa telah terjadi transformasi kesadaran masyarakat Islam yang cendrung mengangkat nilai hukum dalam bidang sosial kekeluargaan Islam sebagai salah satu aspek “simbol” akidah (imam). Hal ini ditunjukan dengan betapa pun seseorang itu tidak melaksanakan ibadah shalat dan puasa, namun jika ia hendak melaksanakan pernikahan ia tidak berani melanggar dan melangkahi ketentuan rukun dan syarat-syarat nikah secara Islam.
Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian juga dengan perkawinan. Perkawinan merupakan aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka ada kemungkinan bahwa tujuan mereka tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan perkawinan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam pencapaian tujuan tersebut. Apakah sebenarnya tujuan perkawinan?.
Perkawinan mempunyai tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, maka sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, apakah sebenarnya yang ingin dicapai dalam perkawinan itu. Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dari dua individu yang berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah.
Tanpa adanya kesatuan tujuan antara suami dan isteri dalam keluarga dan kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama, maka dapat dibayangkan bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang merupakan sumber permasalahan besar dalam keluarga, akhirnya dapat menuju keretakan keluarga yang berakibat lebih jauh sampai kepada perceraian. Tujuan adalah merupakan titik tuju bersama yang akan diusahakan untuk dicapai secara bersama-sama pula. Kebahagian yang merupakan salah satu tujuan dari perkawinan adalah sesuatu hal yang relatif dan subyektif.
Relatif karena sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan kebahagiaan, namun pada waktu yang lain mungkin tidak dapat menimbulkan lagi kebahagiaan. Subyektif oleh karena kebahagiaan bagi seseorang belum tentu kebahagiaan bagi orang lain.
Tujuan perkawinan akan terkait pada frame of reference dari individu yang bersangkutan. Dengan demikian maka timbul pertanyaan bagaimana keluarga bahagia itu?. Walalupun kebahagiaan itu relatif dan subyektif, tetapi adanya ukuran atau patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa keluarga itu merupakan keluarga yang bahagia atau walfare.
Keluarga merupakan keluarga bahagia bila dalam keluarga itu tidak terjadi kegoncangan-kegoncangan atau pertengkaran-pertengkaran, sehingga keluarga itu berjalan dengan baik tanpa goncangan-goncangan atau pertengkaran-pertengkaran yang berarti (free from quarelling).
Tujuan perkawinan yang lain selain membentuk keluarga bahagia, juga bertujuan lain yaitu bersifat kekal. Dalam perkawinan perlu ditanamkan bahwa perkawinan itu berlangsung untuk waktu seumur hidup dan selama-lamanya kecuali dipisahkan karena kematian.
Tujuan perkawinan menurut Islam adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Hal ini senada dengan firman Allah: Q.s. ar-Rum [XXX]: 21 yang berbunyi:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia (Allah) menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu berfikir”.
Tujuan kedua dari perkawinan menurut Islam adalah menenangkan pandangan mata dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi saw yang dirawayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi:
“Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasullulah SAW. Berkata: Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandang (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barangsiapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur Undang-Undang tentang Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan.
Berkaitan perkawinan masih banyak persoalan yang perlu diteliti dan dilihat lebih jauh, persoalan yang ingin dituangkan penulis dalam penelitian ini adalah perkawinan yang sedang berlangsung tetapi salah satu pihak telah melakukan perbuatan murtad dan akibat hukumnya serta tata cara putusnya perkawinan akibat murtad.
Persoalan murtad ini diangkat penulis karena murtad merupakan sesuatu yang bersifat sensitif, dan masih sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Murtad ini akan lebih mendekati perkawinan beda agama. Jika dikaitkan antara keduanya hampir saling berhubungan yaitu salah satu pihak beda agama.
Namun perbedaan keduanya adalah perkawinan beda agama adalah perkawinan beda agama merupakan keinginan melakukan perkawinan antara laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan lahir batin dengan tetap pada agama masing-masing yang berbeda, sedangkan persoalan murtad terjadi ketika perkawinan sudah berlangsung, dan salah satu pihaknya melakukan peralihan agama di dalam perkawinan tersebut.
Ada asumsi yang mengatakan bahwa banyaknya peceraian perkawinan yang diakibat oleh peralihan agama, dikarenakan tidak diaturnya dalam Undang-Undang Perkawinan tentang perkawinan beda agama, sehingga terjadi penyeludupan hukum dengan berpura-pura memeluk agama yang satu (Islam). Apakah benar asumsi yang demikian ?.
Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, telah dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam Agama Islam pihak yang akan menikah harus menganut agama yang sama atau wanita kitabiyah, jika kedua pihak belah pihak itu berlainan agama atau bukan wanita kitabiyah dalam Islam perkawinan tersebut dilarang. Sehingga berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dari Undang-Undang Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satu pihak harus ikut menganut agama Islam atau wanita kitabiyah. Mengenai wanita kitabiyah ulama masih berbeda pendapat tentang kebolehannya.
Contoh kasus tentang perkawinan yang diputuskan karena murtad antara lain:
Siti Maryam binti Abu Yahya, umur 27 tahun agama Islam menikah dengan Junaedi bin Manap umur 32 tahun beragama non-Islam, menikah secara Islam di KUA Kecamatan Kebayoran Baru, setelah dikaruniai lima orang anak, suami (Junaedi bin Manap) kembali ke agamanya semula non-Islam (murtad). Otomatis meraka harus diceraikan berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Barat No. 37/l/1985 tanggal 11 Mei 1985.
Leginingsih binti Legito Amir, umur 23 tahun beragama Islam menikah secara Islam di KUA Kecamtan Kebayoran Lama, dengan laki-laki non-Islam yang bernama Supartono bin Josowidagdo umur 37 tahun diputuskan cerai dengan penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 27 Oktober 1983 No. 394/1983, setelah mendapat 4 (empat) orang anak dari suaminya yang semula beragama non-Islam tersebut karena suaminya kembali keagamanya semula non-Islam (murtad).
Ny. Susiawati binti Karyani, umur 20 tahun yang menikah secara Islam di KUA Tanah Abang dengan Suratno bin Tronowidjojo agama non-Islam, setelah dikaruniai 2 (dua) orang anak telah ditetapkan cerai oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 109/1984 tanggal 4 Oktober 1984, karena suaminya murtad yaitu kembali keagamanya semula non-Islam.
Banyaknya kasus yang terjadi peralihan agama setelah pernikahan secara Islami, membuat penulis berkeinginan meneliti lebih jauh apakah yang harus dilakukan terhadap persoalan ini dan akibat hukum apa saja yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut?.

Teori Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu aktivitas, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan aktivitas-aktivitas yang lain. Selain aktivitas itu mempunyai tujuan tertentu, aktivitas ini juga didorong oleh sesuatu yang menyebabkan terjadinya aktivitas tersebut; demikian juga dengan perkawinan. Selain perkawinan itu mempunyai tujuan tertentu, perkawinan juga mempunyai pendorong tertentu pula, sehingga seseorang melangkah ke jenjang perkawinan.
Berkaitan dengan “pendorong” ini, timbul suatu pertanyaan apakah yang mendorong ataupun melatarbelakangi terjadinya perkawinan itu?.
Manusia sebagai makhluk hidup yang lebih sempurna bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk hidup yang lain, khususnya dengan hewan. Dengan kelebihan yang ada pada manusia, maka sudah sewajarnya bahwa manusia dapat menggunakan kelebihan itu dengan baik, misalnya manusia dapat berpikir, manusia mempunyai kata hati.
Filsuf Yunani yaitu, Aritoteles mengemukakan bahwa manusia itu adalah zoon politikon, yaitu selalu mencari manusia yang lain untuk hidup bersama dan kemudian berorganisasi. Hidup bersama merupakan gejala yang biasa bagi seorang manusia, dan hanya manusia-manusia yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu hidup mengasingkan diri dari orang-orang yang lain.
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan–kebutuhan seperti makhluk hidup yang lain, baik kebutuhan-kebutuhan untuk melang-sungkan eksistensinya sebagai makhluk, maupun kebutuhan-kebutuhan yang lain. Kebutuhan manusia tidak terbilang banyaknya, kiranya kurang mungkin untuk menginvetarisasi kebutuhan-kebutuhan seluruhnya. Karena itu pada umumnya kebutuhan itu diklasifikasi untuk lebih mudah melihat secara menyeluruh.
Menurut Gerungan yang dikutip dari buku Bimo Walgito bahwa ada tiga macam kelompok kebutuhan manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan theologis. Hal ini didasarkan atas pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk biologis, sosial dan relegi.
Selanjutnya menurut Maslow yang dikutip dari buku Bimo Walgito, bahwa ada beberapa kebutuhan yang ada pada manusia yang sifatnya hirarkhis. Sesuatu kebutuhan akan timbul bila kebutuhan yang lebih rendah telah terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia itu adalah:
The physiological needs, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisiologis, dan kebutuhan-kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling kuat di antara kebutuhan-kebutuhan lain.
The safety needs, yaitu merupakan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan rasa aman.
The belongingness and love needs, yaitu merupakan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan dengan orang lain, merupakan kebutuhan sosial.
The esteem needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan penghargaan, termasuk rasa harga diri, rasa dihargai.
The needs for self-actualization, yaitu kebutuhan untuk mengakutalisasikan diri, kebutuhan ikut berperan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia pada dasarnya yang dapat digolongkan menjadi :
Kebutuhan yang bersifat fisologis, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan kejasmanian, kebutuhan-kebutuhan yang diperlu-kan untuk mempertahankan eksistensinya sebagai makhluk hidup misalnya kebutuhan akan makan, minum, seksual, dan udara segar.
Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat psikologik, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan segi psikologis, misalnya kebutuhan akan rasa aman, rasa pasti, kasih sayang, harga diri dan aktualisasi diri.
Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sosial, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan interaksi sosial, kebutuhan akan berhubungan dengan orang lain, misalnya kebutuhan berteman dan kebutuhan bersaing.
Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat religi, yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk berhubungan dengan kekuatan yang ada diluar diri manusia kebutuhan untuk berhubungan dengan sang pencipta.
Perlu dikemukakan di sini sekalipun adanya bermacam-macam golongan kebutuhan seperti yang dijelaskan di atas, namun tidak berarti kebutuhan-kebutuhan itu terpisah satu dengan lainnya.
Setiap kebutuhan-kebutuhan yang ada di atas memerlukan pemenuhan, karena itu manusia selalu berusaha untuk memenuhinya. Perkawinan sangat berkaitan dengan kebutuhan fisologis yaitu kebutuhan seksual, kebutuhan psikologis yang berkaitan dengan rasa kasih sayang, kebutuhan sosial kebutuhan untuk berteman dan bermasyarakat, dan kebutuhan religi yang didasari oleh kepercayaan sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh individu bersangkutan.
Demikian eratnya kebutuhan akan perkawinan dengan kehidupan manusia memberi arti penting tentang keberadaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dengan adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, diharapkan perkawinan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia dapat berjalan dengan baik dan benar.