Selasa, 01 September 2009

RIAU PUSAT NEGOSIASI ATAU PERLAWANAN

Perselisihan propinsi Riau berhadapan dengan pemerintah pusat terus mengalir bahkan setelah terbitnya UU No 33 Tahun 2004 yang merubah UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah diterapkan, masih muncul berbagai permasalahan, terutama soal tidak cocoknya dana bagi hasil yang diberikan oleh pemerintah pusat, kewenangan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang belum diberikan dan implikasi kebijakan pusat terhadap kerusakan hutan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup berat. Penerapan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tak serta merta memuaskan pemerintah daerah, justru perasaan gundah yang timbul atas adanya implementasi UU tersebut.

Dalam hal dana bagi hasil maupun kewenangan pengelolaan SDA, eksploitasi pusat atas daerah terus dilakukan, wacana dengan keinginan menerpakan otonomi daerah tampak pada implementasi otonomi daerah selama ini. Pusat masih ”berkuasa” atas data dan informasi yang dibutuhkan daerah. Selain kebijakan yang tidak bersahabat dari pemerintah pusat, masyarakat juga dihadapkan problem besar dalam pemerintahan di daerah sendiri. Problem dana pemerintah pusat ke daerah belum sebanding dengan yang diserap pusat dari daerah. Tapi, pada sisi lain, dana yang ditransfer pusat tidak dikelola maksimal oleh pemerintah daerah untuk kesejahteraan rakyatnya. Idealnya, otda menciptakan sistem pembiayaan yang adil dan imbang (vertikal dan horizontal) serta memunculkan good governance dengan pembiayaan yang akuntabel, transparan, pasti, serta partisipatif. Pemanfaatan dana perimbangan oleh pemerintah daerah memang belum dimaksimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi, dana perimbangan pusat untuk daerah tetap harus sebanding dengan yang diserap pusat dari daerah tersebut. Bila tidak, ancaman disintegrasi bangsa akan terus membayangi negeri ini. Pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) terutama dalam industri ekstraktif sebagai penyumbang terbesar dalam APBN dan APBD menimbulkan banyak masalah. Pemerintah pusat dianggap ”arogran” dengan mengeksploitasi daerah secara besar-besaran, terutama daerah kaya migas seperti (NAD, Papua, Riau, dan Kaltim). Sebagai bukti, meski dikatakan sebagai daerah kaya, pembangunan prasarana ekonomi di daerah itu tertinggal dibanding daerah lain. Ekspresi ketidakpuasan daerah selama ini menjadi fenomena wajar. Misalnya, menentang bagi hasil migas yang dianggap tidak transparan. Sebab, tidak memberikan angka sesungguhnya dalam pengambilan migas di masing-masing daerah. Sangat mungkin daerah penghasil dirugikan. Karena informasi tentang volume dan harga migas yang dihasilkan daerah tersebut hanya diketahui departemen teknis (ESDM). Daerah hanya menerima angka jadi perhitungan bagi hasil yang diberikan Departemen keuangan. Terkait dengan hal tersebut, kurangnya transparansi penghitungan bagi hasil SDA membingungkan pemerintah daerah. Demikian pula dengan hak pengelolaan tanah yang menjadi SDA di seluruh daerah terus menjadi problem otonomi. Sampai saat ini, kewenangannya masih di tangan pemerintah pusat. Sementara itu, konflik-konflik pertanahan dan akibatnya menjadi problem daerah. Belum lagi konflik di kalangan masyarakat yang melibatkan pemerintah daerah maupun kepentingan kapital lainnya. Pengelolaan SDA juga sering berbenturan dengan tradisi adat dan nilai budaya lokal. Manajemen eksploitasi SDA yang kurang tepat telah menimbulkan ekses kerusakan lingkungan dan konflik antar stakeholders yang berkepentingan, banjir yang terjadi dimana-mana dari pelosok daerah bahkan perkotaan akbiat pengundulan hutan tanah, sehingga tidak mampu lagi menahan air. Pada musim kemarau terjadi kekeringan panjang dan berpotensi kebakaran lahan dan hutan. Dampak lain kerusakan dengan semakin berkurangnya tumbuhan endemik asli Riau dan binatang langka yang dilindungi dan berkurangnya populasi satwa ada. Tingginya tingkat konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan serta semakin tingginya suhu bumi (global warming) mengakibatkan semakin tipisnya lapisan ozon sehingga timbul berbagai penyakit seperti ISPA, iritasi mata, dan penyakit diare dan mencret. Akibat kesalahan manajemen eksploitasi SDA, teridentifikasi berbagai konflik di daerah : (a) konflik pengelolaan antarkomoditas. Contohnya, limbah penambangan menimbulkan konflik dengan budidaya ikan, ikan air tawar, dan komoditas lain yang ekosistemnya terusak. (b) Konflik pengelolaan antarsektor, yakni sektor pertambangan berbenturan dengan sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata. (c) Konflik antardaerah, yakni dampak eksploitasi SDA satu daerah memasuki daerah lain. (d) Konflik sosial ketika dampak eksploitasi memasuki wilayah berpenghuni. Perlukah Negosiasi Atau Perlawanan Riau Dengan Pusat Negosiasi adalah penyesuaian dari perbedaan. Atau dapat dikatakan sebagai tawar-menawar antar pihak yang bersengketa. Lebih tepatnya dalam tulisan ini adalah mencari jalan keluar dari persoalan yang dialami, mencari jalan tengah sehingga kedua belah mendapatkan keuntungan. Negosiasi bersifat voluntary dan tidak membutuhkan pihak ke tiga, sehingga kedua belah pihak harus mampu melakukan penyelesaian sengkata yang dialami. Masing-masing pihak memilih wakilnya sebagai negosiator dan masing-masing negosiator berunding dengan membawa pendapat dari kedua belah pihak. Prinsip yang diinginkan dalam melakukan negosiasi harus berupaya antara lain: o Harus saling menamamkan sikap saling percaya. o Memiliki sikap saling bekerjasama dan tidak konfrontasi o Tidak mempertahankan pendapat tetapi menerapkan ”win-win solution” o Pembicaraan tetap fokus pada interest masing-masing pihak o Munculan kebutuhan dan pilihan bersama yang dirasakan oleh masing-masing pihak Seorang negosiator yang membawa misi (agenda) yang jelas serta harus memiliki data dan informasi yang akurat sehingga lebih memudahkan penyelesaian sengketa, dead locknya negosiasi dapat terjadi jika salah satu pihak tidak memiliki data yang akurat sehingga mudah dibantahkan. Pada persoalan Riau serta beberapa daerah lainnya dan pemerintah pusat tentang negosiasi dana bagi hasil migas yang selama ini telah diserap oleh pusat dari daerah-daerah penghasil bahkan Riau penyumbang migas terbesar untuk pemerintah pusat. Persoalan dana bagi hasil ini berpunca dari tidak transparannya hasil migas yang dieksploitasi dari Riau sehingga pemerintah propinsi Riau hanya menerima apa yang diberikan oleh pemerintah pusat. Tentu sebelumnya berdasarkan data yang diperoleh propinsi Riau seharusnya Riau dapat menerima lebih dari apa yang diberikan saat ini, namun kenyataannya tidak. Berbagai upaya tentunya telah dilakukan oleh pemerintah propinsi Riau dalam meminta penjelasan tentang persoalan ini. Namun hingga saat ini belum terlihat titik terangnya dana migas yang diterima masih misteri sehingga tingkat kepuasan pemerintah Riau terhadap pemerintah pusat terus ”terganggu”. Lain pula halnya tentang pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki. Riau pun belum mendapatkan apa yang diinginkan untuk mengelola hasil bumi yang dimiliki secara sendiri dengan perusahaan yang bersaing tentunya. Tolak ulur pemberian hak mengelola sumber daya alam ini disebabkan pemerintah pusat tidak melihat keseriusan Riau mampu mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Ingat dalam sejarah bahwa Riau telah dapat mengelola CPP Block. Ini jadi batu loncatan Riau dalam upaya mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Namun belum ini menjadi perhatian pemerintah pusat secara serius untuk block-block migas lainnya. Akses lain yang belum diperoleh propinsi Riau adalah penataan hutan yang telah rusak akibat maraknya illegal logging, kerusakan hutan terus menjadi mimpi buruk bagi Riau. Musim hujan kebanjiran dan musim kemarau kebakaran akibat dari pengaruh global warning. Perhatian pemerintah pusat harus diarahkan ke Riau guna meminimalisir pengaruh dan dampak pemanasan global. Alternatif jika problem negosiasi yang dilakukan propinsi Riau tidak mampu dilakukan adalah perlawanan. Punyakah Riau tokoh yang mampu melakukan negosisasi dengan pemerintah pusat, demi kepentingan masyarakat Riau bukan untuk kepentingan pribadi?. Tokoh Riau Yang Berada di Pusat Pemerintah propinsi Riau sebagai ujung tombak pemerintah pusat di daerah, harus mampu menyuarakan aspirasi mayarakat Riau hingga ke tingkat pusat. Berbagai lembaga yang harus diajak bekerjasama dalam menyampaikan aspirasi ini, selain pemerintah lembaga yang mampu untuk melakukan negosiasi adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang berasal dari pemilihan Riau serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Telah beberapa priode DPR RI asal pemilihan Riau yang berjuang guna menyampaikan aspirasi daerah ke tingkat pusat, namun belum memiliki akses dan implikasi yang cukup bagi rakyat Riau, secara kelembagaan anggota DPR harus berkoordinasi dengan forum tertinggi di Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga suara yang disampaikan belum tentu diterima bahkan jika tidak bersuara. Untuk itu selain secara kelembagaan, tokoh Riau yang berada dipusat harus mampu melakukan manufer pribadi sehingga mampu didengar oleh pemerintah pusat. Hasil pemilu legislatif tahun 2009 telah menampilkan tokoh-tokoh Riau yang diberikan wewenang oleh rakyat, untuk itu secara kelembagaan maupun pribadi harus berupaya berjuang dalam menyampaikan aspirasi daerah. Nama-nama itu antara lain: dari anggota DPR RI yang terpilih Ir.H. M.Lukman Edy,M.Si, Ir.H.M. Idris Laena, Hj. Nurliah, SH,MH, Marsiaman Saragih,SH, Muhammad Nasir, Drs.Chairul Anwar,APT, H. Asman Abnur, SE,M.Si, Ir. H. Arsyad Juliandi Rachman, MBA, Drs. H.Wan Abu Bakar MS, M.Si, Ian Siagian, H. Sutan sukarnotomo. Dari angggota DPD yang terpilih Abdul Gafur Usman, Intsiawati Ayus, Maimanah Umar, Mohammad Gazali. Ketertindasan yang dialami propinsi Riau selama ini, harus menjadi agenda utama para tokoh Riau ke depan, dan menjadi catatan sejarah bagi rakyat Riau jika mampu melakukan upaya perjuangan secara maksimal.