Selasa, 01 September 2009

TAMPILKAN BUDAYA “USTADZ” DI RIAU

Kekisruhan Negeri Ini Korupsi telah mejadi wabah yang melanda hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Walaupun suara anti korupsi telah terdengar sejak berdirinya republik ini, tetapi gejalanya tidak pernah surut dan bahkan semakin menjadi-jadi. Melalui berbagai survei, Indonesia dimasukkan sebagai negara dengan tingkat korupsi sangat mengkhawatirkan. Kenyataan ini seharusnya menjadi tamparan umat beragama, khususnya umat Islam yang menghuni moyoritas negeri ini. Belum lama ini Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar dijadikan tersangka pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjara Nasrudin Zulkarnain sejak 30 April kemarin. Antasari dijadikan tersangka intellectual dader alias otak pembunuhan. Walaupun telah muncul berbagai asumsi yang ada, namun ini adalah cerminan buruk bagi sikap dan tingkah laku para pejabat negeri ini. Praktik korupsi yang terjadi di Riau ternyata juga sudah sangat parah. Buktinya pihak KPK sejak tahun 2004 hingga pertengahan Juli 2008 ini telah menerima sebanyak 831 laporan korupsi. Angka tersebut tertinggi di Indonesia.

Namun belum ada penyelesaian secara maksimal yang dapat dilakukan dalam meminimalisir korupsi dan dampaknya bagi kepentingan masyarakat secara luas. Jika dikaitkan dengan prosalan agama korupsi mewabah disebabkan dua hal, yakni kesalahan umat dalam memahami agama, dan ketidaktaatan dalam beragama. Dalam pemahaman, orang memandang bahwa ajaran Islam yang berkaitan dengan korupsi kalah penting dibanding dengan ajaran tentang ibadah. Orang melakukan korupsi lantas pergi haji, atau menyumbang mesjid dan madrasah. Dalam hal ketidaktaatan, orang melakukan korupsi karena menganggap agama tidak penting bahkan menganggap sebagai penghambat tercapainya kepentingan duniawi yang berjangka pendek. Menilik keyakinan dan realitas yang ada di masyarakat, agama adalah sesuatu yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter bangsa. Oleh karenanya sebagai umat mayoritas, menjadi kewajiban bersama untuk menjadikan Islam berfungsi dalam membangun masyarakat yang bersih dari korupsi serta penyelewengan lainnya. Islam adalah agama yang secara tegas melarang korupsi. Islam melarang mencuri (sembunyi-sembunyi) dan merampok (terang-terangan) baik harta individu, kelompok atau publik. Larangan itu secara formal dirumuskan dalam hukum Islam dan juga akhlaq Islam. Ustadz Merebak Dimana-Mana Kata ustadz lebih dikenal pada kalangan umat Islam, istilah ini sering diartikan sebagai sebuah profesi yang bertujuan membimbing, membina serta mencerahkan pemahaman umat terhadap ajaran dan panduan yang dimiliki Islam untuk diterapkan dalam beribadat, bermasyarakat dan bernegara, dalam upaya mencari ridho Allah SWT. Tugas yang diemban oleh ustadz merupakan tugas yang mulia diberikan Allah SWT kepada para Nabi dalam tujuan mencapai rahmatan lilalamin kebahagianan bagi seluruh alam. Kata ustadz saat menjadi fenomena yang semakin penting di Indonesia dan Riau dewasa ini. Hal ini disebabkan seluruh profesi yang ada di negara ini sering dikaitan dengan kata ustadz. Sebagai contoh dari profesi terendah pak RT dan RW menjadi Ustadz diwilayahnya, begitupula dengan seorang camat, bupati, gubernur bahkan presiden sekalipun merupakan ustadz di wilayah yang diembannya, sehingga pekerjaan yang dilakukan pada tingkatan masing-masing memberikan dampak yang baik dan buruk terhadap rakyatnya. Penunjukan seseorang menjadi ustadz sangat ketat, dengan persyaratan dan kreteria yang cukup sulit dicari antara lain: Pertama, memiliki pengetahuan dan kemampuan, syarat yang pertama ini memberikan pemahaman bahwa seorang ustadz harus mampu berbahasa arab dengan baik sehingga mampu memahami dalil-dalil baik al-Quran dan Hadits sebagai dasar suatu hukum yang terjadi. Kedua, memiliki kepribadian yang jujur, ini diartikan bahwa seorang ustadz harus memiliki kepribadian yang terpuji terbebas dari dosa besar dan jauh dari dosa-dosa yang kecil, dan Ketiga, memiliki sumber yang sama dan teruji. Sumber ini tentu tidak terlepas dari Al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum yang tidak ada keraguan pada keduanya. Hubungan dua kata antara ustadz dan pemimpin sebagaimana yang dibicarakan, memiliki persamaan baik peran maupun tujuan keberadaannya demi menciptakan kesejahteraakan masyarakatnya. Persamaan yang dapat dijadikan panduan antara lain : 1. Ustadz dalam bahasa Arab merupakan pengembangan dari akar kata “Asat” a yang artinya Memberi panutan, sama halnya dengan pemimpin harus memberikan panutan kepada masyarakatnya. Persamaan keduanya dalam artian ini adalah keduanya harus mampu memberikan teladan yang baik pada masyarakat. Teladan dalam bersikap, teladan dalam bicara juga teladan dalam membuat kebijakan yang diambil sehingga memberikan keuntungan dan kebahagiaan pada masyarakatnya. 2. Keduanya antara ustadz dan pemimpin memiliki kemampuan untuk mengelola dan memberdayakan rakyat, ustadz dalam bidang keagamaan dan pemimpin dalam bidang pemerintahan. Dengan mempertimbangkan persamaan di atas, kata ustadz dan pemimpin dapat disamakan. Apa yang ingin dihasilkan dari upaya membangun budaya “ustadz” di Riau? Berbagi pendekatan dapat dilakukan dalam mencari jawaban untuk pertanyaan tersebut. Setiap pendekatan yang berbeda dengan sendirinya menghasilkan jawaban yang berbeda. Dengan lebih menitikberatkan pada pendekatan agamis dapat memberikan pengertian bahwa penyatuan kehidupan dunia dan akhirat. Penterjemahan wancana ustadz pada tingkat dan level kehidupan duniawi adalah menumbuhkan sikap keberagamaan dalam setiap perbuatan. Banyaknya kasus penyelewengan yang terjadi saat ini telah membuat kesengsaraan bagi masyarakat secara umum. Propinsi Riau sebagai propinsi yang berkeinginan menjadi berkembang harus menanamkan sikap yang taat aturan, taat berbuat dan taat dalam kebijakan. Membangun Budaya “Ustadz” Di Riau Berdasarkan keinginan dalam tulisan ini, adalah menciptakan pemimpin negeri ini bergelar ustadz dalam artian yang sebenarnya, ini memberi arti seorang pemimpin memiliki sikap seorang jujur, transparan, ikhlas. Namun bagaimanakan menciptakan pemimpin yang berjiwa ustadz. Dalam gambaran dapat dijelas bahwa manusia dilengkapi oleh sang pencipta dua hal pokok, yaitu jasmani dan rohani. Dua hal ini memiliki keperluan dan kebutuhan masing-masing. Jasmani membutuhkan makan, minum, keindahan, pakaian, perhiasan-perhiasan dan kemasyhuran, sedangkan hal pokok kdua rohani, pada sisi lain, membutuhkan kedamaian, ketenteraman, kasih-sayang dan cinta. Para sufi menegaskan bahwa hakekat sesungguhnya manusia adalah rohaninya. Ia adalah muara segala kebajikan. Kebahagiaan badani sangat tergantung pada kebahagiaan rohani. Sedang, kebahagiaan rohani tidak terikat pada wujud luar jasmani manusia. Sebagai inti hidup, rohani harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Semakin tinggi rohani diletakkan, kedudukan manusia akan semakin agung. Jika rohani berada pada tempat rendah, hina pulalah hidup manusia. Fitrah rohani adalah kemuliaan, jasmani pada kerendahan. Badan yang tidak memiliki rohani tinggi, akan selalu menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rendah hewani. Rohani hendaknya dibebaskan dari ikatan keinginan hewani, yaitu kecintaan pada pemenuhan syahwat dan keduniaan. Hati manusia yang terpenuhi dengan cinta pada dunia, akan melahirkan kegelisahan dan kebimbangan yang tidak berujung. Hati adalah cerminan ruh. Kebutuhan ruh akan cinta bukan untuk dipenuhi dengan kesibukan pada dunia. Ia harus bersih. Dalam rangkaian metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap : Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi. Dunia dan isinya, oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia. Manakala kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap. Hati yang sibuk pada dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, kepedihan dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, lanjut para saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu melepaskan hatinya dari kecintaan pada dunia. Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah dalam setiap detik. Setelah tahap pengosongan dan pengisian sebagai tahap ketiga adalah Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Inilah langkah yang diterapkan oleh para sufi dalam membentuk jiwa yang tenang. Selain ketentangan hati yang perlu dilakukan adalah penambahan wawasan keilmuan yang cukup dalam bagaimana memimpin yang terbaik sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Mudah-mudahan pemimpin yang ada Riau dapat melakukannya.