Selasa, 08 September 2009

TEORI KORUPSI

1. DEFENISI KORUPSI
Korupsi (bahasa Latin: corruptio atau corruptus, corruptio berasal dari kata corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok), dari bahasa latin inilah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption dan Belanda corruptie, korruptie. Dari bahasa belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi. Korupsi mengandung arti: kejahatan, kebusukan, tidak bermoral dan kebejatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi diartikan sebagai kata busuk, rusak, buruk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Dengan kata lain korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Dalam kamus ilmiah poluper dinyatakan arti korup adalah curang; busuk; dan mudah disuap sedangkan korupsi diartikan kecurangan; penyelewengan/ penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi; dan pemalsuan.
Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas untuk pertama kalinya pada pasal 1, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi:
Yang disebut tindak pidana korupsi ialah:
a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau Daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat;
b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalah-gunakan jabatan dan kedudukan;
c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sedangkan versi Undang-Undang yang pertama kali mencantumkan pengertian korupsi pada pasal 1, Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagian besar pengertian korupsi dalam UU tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP), yang berbunyi:
Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 K.U.H.P.;
d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419 dan 420 K.U.H.P. tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
f. Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.
Perubahan terakhir Undang-Undang tentang tindak pidana korupsi yatiu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 Pasal 2 menyebutkan bahwa korupsi adalah :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)


2. BENTUK DAN JENIS KORUPSI
Dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat 30 rumusan bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terpisah dan terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang dikenakan pidana korupsi. Namun pada dasarnya 30 bentuk/jenis korupsi itu dapat dikelompokan menjadi:
a. Kerugian keuangan negara
b. Suap menyuap
c. Pengelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
g. Gratifikasi
Dalam buku Toward A General Theory Of Official Corruption karangan Gerald E Caiden bentuk umum korupsi yang dikenal antara lain:
a. Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri ilegal, penyeludupan
b. Mengelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri
c. Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana
d. Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya
e. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras
f. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak sah, menjebak
g. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu
h. Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, menerima komisi
i. Menjegal pemilihan umum, memalsukan surat suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul
j. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi, membuat laporan palsu
k. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang miliki pemerintah dan surat izin pemerintah
l. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang
m. Menghidari pajak, meraih laba berlebih-lebihan
n. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan
o. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya
p. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap
q. Perkoncoan, menutupi kejahatan
r. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos
s. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
Dilihat dari jenisnya korupsi menurut Benveniste dalam bukunya bureaucracy (1991) membagi korupsi dalam 4 jenis yaitu :
a. Discretionary corruption,
b. Illegal corruption,
c. Mercenery corruption dan
d. Ideological corruption.
Sedangkan Piers Beirne dan James Messerschmidt dalam criminology (1995) membagi korupsi dalam 4 jenis yaitu :
a. Political bribery,
b. Political kickbacks,
c. Election froud dan
d. Corrupt campaign practice



3. DAMPAK DAN AKIBAT KORUPSI
Korupsi merupakan faktor penghambat bagi pengembangan demokrasi, menghambat pelaksanaan tugas lembaga-lembaga publik serta penyalahgunaan sumber daya yang dimiliki baik alam maupun manusia secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Korupsi memupuk perilaku merahasiakan segala sesuatu dan penindasan. Kerahasiaan terlihat dari banyaknya pelaksanaan program pembangunan yang memiliki permasalahannya masing-masing di mulai dari pengajuan anggaran yang diperbesar (mark up), penggunaan anggaran yang diperkecil (mark down), kegiatan fiktif maupun kondisi yang tidak layak guna. Penindasan dijelaskan dengan kondisi ketidakmampuan masyarakat untuk menikmati hasil yang telah dilakukan oleh sebuah proses pembangunan.
Pada tatanan realitas korupsi banyak sekali menimbulkan kerugian dalam bentuk dana yang cukup besar. Namun lebih dari itu kerugian yang terbesar dari pelaksanaan korupsi yang terus menerus adalah antara lain terciptanya kemiskinan struktural, penumpukan ilegal aset-aset pada segelintir orang, dan lebih parah lagi akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan dan rasa hormat kepada lembaga-lembaga administrasi dan tata kelola pemerintah sehingga menimbulkan kelemahan otoritas pemerintah terhadap rakyatnya.
Korupsi sering menghasilkan pilihan-pilihan yang keliru, antara menciptakan kesejahteraan pribadi dan kelompok dengan kesejateraan masyarakat. Apakah tidak mungkin dengan terwujudnya kesejahteraan masyarakat akan terwujud kesejahteraan pribadi dan kelompok ?. Jika kita lihat kondisi kekinian dalam upaya pemberantasan korupsi saat ini masih bersifat parsial. Pada tatanan penyelenggara pemerintahan upaya tersebut belum menunjukkan sinergisitas antara lembaga satu dengan lainnya. Bahkan tak kadang lembaga yang semestinya sebagai problem solving justru menjadi bagian masalah tersebut. Sedangkan pada tatanan masyarakat sipil juga belum terlahir sebuah perlawanan yang masif dan terstruktur untuk membangun koalisi dalam memberantas korupsi. Justru yang lebih kentara adalah sifat skeptis lebih cenderung merebak.
Korupsi telah menjadi persoalan bangsa yang menimbulkan krisis multidimensial. Hal ini harus menjadi perhatian seluruh komponen bangsa dengan membangun komitmen dan memainkan peranan masing-masing untuk mecegah korupsi terus berkembang. Menurut Direktur Bank Dunia mengatakan bahwa tingkat kebocoran keuangan di seluruh dunia yang diakibatkan perilaku korupsi mencapai $ 1000 Miliar dolar setiap tahunnya. Ternyata persoalan korupsi telah merasuk dan menyebar ke setiap negara dunia, yang membedakan adalah besaran korupsi yang terjadi dan cara penangannya
Indonesia saat ini lagi serius dan berkomitmen untuk selalu berupaya secara terus menerus agar korupsi dapat diminimalisir. Walaupun disadari apa yang dilakukan masih jauh dari harapan masyarakat banyak. Keraguan dan keengganan para investor untuk menanamkan ivestasinya di Indonesia yang disebabkan oleh perilaku korupsi dalam bentuk prosedur dan pungutan ilegal baik dari segi waktu dan biaya yang harus dibayar menjadi salah satu alasan yang kerap di ucapkan. Alhasil upaya yang dilakukan untuk menarik para investor datang ke Indonesia belum memberikan hasil yang memuaskan
Korupsi yang telah merasuk pada berbagai lini dan sektor kehidupan telah menempatkan negara pada krisis multi dimensional. Sumber daya alam dan seluruh pendapatan negara terutama dari rakyat pembayar pajak telah ’dibajak’ oleh segelintir orang untuk kepentingan golongan dan kelompok, dan dampak yang diberikan sangat merugikan masyarakat secara luas. Ketimpangan sosial, kemiskinan, kebodohan, investasi yang tersendat merupakan dampak nyata dari perilaku korupsi. Nyata-nyata bahwa korupsi telah merenggut hak-hak dan harapan rakyat untuk hidup yang lebih baik dan berkeadilan.
Peringkat Indonesia sebagai negara paling wahid negara terkorup di asia, dan termasuk juga negara dalam kategori terkorup di dunia berdampak buruk pada citra dan martabat bangsa di mata dunia. Indonesia sebagai sebuah negara yang berlandaskan hukum kenyataannya belum mampu menegakkan hukum untuk mencegah dan memberantas korupsi. Kasus-kasus korupsi masih menjadi antrian panjang untuk dituntaskan, bahkan antrian tersebut cenderung bertambah. Hal ini harus mampu menjadi catatan untuk bergerak, bersatu dan merapatkan barisan untuk menuntaskannya. Karena sangat disadari arena korupsi berada pada wilayah kekuasaan, yang semakin tinggi dan besar kekuasaan, kecendrungan dan potensi korupsi juga besar. Apalagi jika korupsi itu dilakukan secara bergotong royong. Tentunya tembok yang akan dihancurkan akan semakin sulit. Dan salah satu unsur penting untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi harus dengan kekuasaan dan kekuatan yang besar pula. Good and political will dari seluruh tingkatan kekuasaan harus dibangun, jika persoalan ini memang ingin dituntaskan.
Harapan masyarakat yang kerap kandas terhadap pemerintah di dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi telah melahirkan rasa apatis dan pesimis bagi penyelesaian persoalan ini. Namun demikian hal ini dapat saja menjadi sebuah kekuatan untuk membangkitkan ’kemarahan’ rakyat atas ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan amanah yang telah diemban. Perilaku konsumtif dan permisif yang cenderung meningkat, modal sosial yang ada di masyarakat untuk melakukan ’tekanan’ dan ‘kontrol” terhadap jalannya pemerintahan yang korup melemah. Bahkan kecenderungannya masyarakat pun melakukan perilaku-perilaku yang korup. Baik oleh dorongan sistem dan mekanisme pemerintah yang korup maupun atas kesadaran sendiri dengan pemikiran bahwa ’bahwa orang lain saja korup, kenapa saya tidak?. Toh orang-orang yang korup yang merugikan rakyat dan negara tidak juga dihukum dan ditindak. Ternyata ketidakpastian penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi telah membentuk watak dan perilaku masyarakat menjadi korup. Jika hal ini dibiarkan tentunya negara ini semakin terperosok ke dalam jurang kehancuran.
Tak ada kata lain bahwa korupsi harus dilawan dan diberantas, karena nyata-nyata korupsi telah merampas hak-hak orang miskin, membuat masyarakat bodoh dan memperburuk citra bangsa. Sinergisitas kekuatan dan kekuasaan yang ada pada tatanan masyarakat harus dilakukan. Karena korupsi adalah merupakan kejahatan luar biasa dan jika dilakukan secara bergotong royong serta telah mengakar dan sistemik maka satu-satunya upaya awal yang dapat dilakukan adalah membangun dan menggerakkan kekuatan semua pihak. Mari berkeyakinan masih ada segelintir birokrat, pejabat legislatif, yudikatif, tokoh masyarakat, akademisi, mahasiswa sampai dengan pedagang kaki lima yang ingin bergerak, bersatu di dalam memberantas korupsi.
Disela-sela keramaian menuju pilpres putaran II, pengungkapan kasus korupsi terus dilaksanakan di daerah-daerah. Berbagai media berlomba-lomba menayangkan pemberitaan terbaru terkait temuan korupsi oleh kejaksaan. Bak cendawan di musim hujan. Jumlah kasus-kasus korupsi yang di ungkap sungguh melewati nalar dan akal sehat bangsa kita. Dari segi jumlah nilainya. Jumlah anggota dewan yang terlibat. Jumlah kota maupun kabupaten tempat korupsi. Termasuk juga jumlah modusnya yang bermacam-macam. Sudah sedemikian hinakah bangsa kita. Sehingga, sampai-sampai, anggota dewan yang seharusnya menjadi panutan dan teladan masyarakat, justru tak dapat diguru dan ditiru akhlaknya.
Tidak semua pihak merasa gembira dengan maraknya upaya kejaksaan mengintai setiap gerak-gerik anggota dewan. Pengungkapan korupsi ini tentu saja menimbulkan berbagai perasaan dibenak masyarakat. Di satu sisi menciptakan rasa was-was. Bukan tidak mungkin masyarakat juga menyadari. Bahwa mereka sesungguhnya punya andil dalam melestarikan korupsi. Seperti pepatah, jika tidak ada yang menyuap tentu saja tidak akan ada yang menerima suap. Rasa was-was ini sangat berbahaya karena dapat memadamkan semangat memerangi korupsi.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejasaan Agung, Kemas Yahya Rahman, kasus dugaan korupsi anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota terjadi hampir di semua provinsi. Melibatkan lebih dari 300 anggota legislatif dengan kerugian negara ratusan miliar. Belum termasuk yang ditangani kepolisian. Dan Kemas menduga, anggota dewan yang terlibat kasus korupsi masih bisa bertambah jumlahnya. Selama enam bulan terakhir total korupsi yang dilakukan anggota DPRD tercatat lebih dari Rp 394 miliar, yakni di 59 DPRD. Nilai ini sebatas data yang dihimpun dari berbagai media massa nasional.
Sampai dengan saat ini kebanyakan masyarakat masih terpaku melihat fenomena pengungkapan kasus korupsi. Perkara ini memang sulit untuk dijelaskan. Belum ditemukan pemaparan para ahli dibidang sosial mengenai sakit yang melanda bangsa ini. Oleh karenanya, kita sebut saja gejala sakit masyarakat ini sebagai hyper corruptus. Yaitu suatu keadaan dimana korupsi sebagai bentuk penyimpangan moral telah melewati batas-batas nalar kemanusiaan kita sebagai bangsa beradab. Bangsa dengan lima sila yang agung. Yang selalu menyelaraskan kehendak berke-Tuhan-an sekaligus berkemanusiaan. Menjadikan hubungan antar individu dalam masyarakat dalam konteks interaksi yang diwarnai nilai-nilai persatuan dan keadilan.
Dampak korupsi telah menghancurkan sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa. Malang Corruption Watch (MCW), 2003, menjabarkan hal sebagai berikut. Ditinjau dari aspek politik dapat dilihat manakala proses politik itu didasarkan bukan membawa kepentingan masyarakat secara umum, tetapi lebih didasarkan atas kemauan dan kepentingan untuk maksud-maksud tertentu dengan membawa agenda pribadi yang dibungkus kepentingan masyarakat. Contohnya, pada bentuk-bentuk kolutif pemilihan walikota/bupati. Penyusuna/pembuatan perda. LPT/LPJ Bupati/walikota. Pemenangan tender proyek dan pada perijinan yang diskriminatif.Alih-alih terjadilah apa yang disebut lemahnya pelayanan terhadap kepentingan publik. Selain itu menimbulkan diskriminasi hukum dan kebijakan. Kemudian mengarah pada legalisasi produk kebijakan yang korup.
Ditinjau dari aspek ekonomi, korupsi selalu dilakukan dengan cara-cara tidak sah dalam mendapatkan sesuatu melalui pola dan modus yang memanfaatkan kedudukan. Dampaknya, terjadi pemusatan ekonomi pada elit kekuasaan. Yang dimaksud kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam arti pengambil kebijakan (DPRD dan Bupati/Walikota) dan kekuasaan modal (pengusaha) untuk melakukan aktifitas ekonomi. Disini MCW memberi catatan sebagai berikut, "Apabila aliran dana ekonomi berputar pada ketiga kelompok tersebut maka kelompok lain yaitu masyarakat yang tidak cukup punya modal dan kemampuan untuk menembus birokrasi pemerintahan akan tetap mengais rejeki dari sisa-sisa kelompok pemodal.
Dari segi aspek sosial-budaya lebih mengerikan lagi. Sebagai dampak adanya korupsi, maka akan membawa pemahaman baru bagi masyarakat tentang makna pemerintahan, aktifitas bermasayarakt atau proses bersosialisasi dengan sesama. Terkait dengan hal demikian, adalah bagaimana korupsi mampu merubah pandangan hidup masyarakat yang penuh semangat kekeuargaan menjadi masyarakat yang berberfaham kebendaan.Diamana masyarakat kita yang suka menolong berubah sedemikian rupa menjadi masyarakat yang pamrih setiap membantu yang lain.
Mempertanyakan kembali moralitas kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, mutlak dilakukan. Kita tidak perlu merasa rendah diri. Apalagi merasa malu untuk memperbaiki keadaan yang sudah sedemikian rusaknya. Sebaiknya, kita merasa kehilangan kehormatan. Ketika bangsa lain mengarahkan telunjuk dengan sinis kepada kita sebagai bangsa yang tidak mampu memperbaiki diri. Mereka akan bertanya dimana nilai-nilai dan pranata masyarakat kita sebagai bangsa yang diwarnai adat ketimuran.
Sekurang-kurangnya ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bekal untuk memperbaiki kondisi saat ini. Pertama, solusi eksternal, yang meliputi pembaruan sistem pendidikan di sekolah, mulai tingkat dasar sampai dengan tingkat lanjutan atas. Model penerapan penataran P-4 yang biasanya menjadi acuan untuk membentuk moral pelajar harus dikoreksi. Mulai dari metodenya hingga materi yang disampaikan. Pembentukan moral sejak awal ditegaskan untuk menjadikan anak sebagai manusia merdeka, bertanggungjawab dan berakhlak. Bukan untuk mencetak anak sesuai kehendak kekuasaan. Kemudian yang tidak bisa dijauhkan adalah pendidikan lingkungan keluarga. Peran agama dan keyakinan lebih mengena ketika disampaikan dalam wujud pengertian-pengertian orang tua kepada anak. Tetapi hal inipun menjadi kendala ketika orang tua kurang memperhatikan anak atau tidak dapat memberi keteladanan yang sebagaimanamestinya.

4. KEWENANGAN PENANGANAN KASUS KORUPSI
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, lebih jauh di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Namun kenyataan di lapangan saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap praktisi hukum (Hakim, jaksa, dan advocat) sedang mengalami dekadensi yang hebat, hal ini tercermin dari pola penyelesaian masalah yang dilakukan masyarakat yang cendrung main hakim sendiri, tambahan lagi belum lama ini seorang jaksa yang menangani kasus BLBI tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus penyuapan.
Pola penyelesaian masalah dengan kekerasan menjadi pilihan utama di tengah ketidakpercayaan terhadap aparatur penegak hukum. Pola penyelesaian tersebut sangatlah dipengaruhi oleh pandangan bahwa penyelesaian melalui mekanisme peradilan penuh dengan permainan, ketidakadilan dan ketidakpastian yang bertameng kepastian hukum. Oleh karenanya raut wajah penegakan hukum (law enforcement) yang kian suram ini harus segera dicerahkan dengan melakukan pengawasan yang efektif baik intenal maupun eksternal. Para penegak hukum itu antara lain:
a. Kejaksaan Dan Kepolisian
Salah satu element penegakan hukum adalah lembaga Kejaksaan dan kepolisian yang bergerak dalam bidang penyelidikan dan penyidikan sebuah tindak pidana yang telah terjadi. Selanjutnya hasil penyelidikan dan penyidikan dijadikan alat untuk dan segera diajukan dimuka pengadilan untuk memutuskan sebuah perkara tindak pidana. Berikut uraian singkat tentang kedua lembaga tersebut
1. Kejaksaan
Kejaksaan Repubik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang dipilih oleh Presiden. Pada pasal 8 ayat (1) UU No. 5 tahun 1991, dinyatakan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Pengertian jabatan fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaaan yang fungsinya memungkikan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Mengingat jaksa mempunyai kualifikasi sebagai pejabat fungsional, maka bagi seorang yang diangkat sebagai jaksa harus memenuhi syarat yang lebih dari sebagai pegawai negeri. Jaksa Agung disela penerimaan anugerah MURI untuk Penyelengggaraan Kantin Jujur beberapa waktu yang lalu, menyatakan bahwa beliau telah mememerintahkan Kajari untuk takut berbuat korupsi serta jadi teladan bagi penegakan hukum dan menanamkan budaya malu untuk berbuat salah.
Sebagai pejabat fungsional, maka seorang Jaksa dituntut mampu menunjukkan kualitas yang lebih baik dari seorang pegawai negeri pada umumnya. Bila mana tampilan kualitas yang lebih baik tidak mampu ditunjukkan, maka seorang jaksa dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 12 huruf d jo pasal 13 huruf b UU No. 5 tahun 1991. Pemberhentian ini dilakukan oleh Jaksa Agung, yaitu dengan cara:
Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatan fungsional Jaksa karena ternyata ia tidak cakap menjalankan tugasnya, misalnya karena ia banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya. Jaksa diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan fungsional jaksa, apa bila ia terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan tugasnya, yaitu apabila ia dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, tidak menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa suatu alasan yang sah. Jaksa Agung telah tertanggal 3 Juni 2008 telah melakukan pecopotan 25 Kajari dari 365 Kajari se Indonesia disebabkan tidak mencapai target program 5-3-1 dalam penanganan kasus korupsi. 5 kasus untuk Kajati, 3 kasus untuk Kajari dan 1 untuk cabang Kajari.
Dalam kerangka pengawasan di lingkup kejaksaan, prihal lembaga yang mengawasi diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 86 tahun 1999 tentang susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan RI, dalam Keppres tersebut disebutkan tentang Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 23 Keppres 86 tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : ”Jaksa Agung Muda Pegawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.”
Tugas dan wewenang Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan dinyatakan dalam pasal 24 Keppres 86 tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : Dalam melaksanakan tugas serta wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, Jaksa Agung Muda Pengawasan menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan kebijakan teknis pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
b. Perencanaan, pelaksanaan, dari pengendalian pengamatan, penelitian, pengujian, penilaian, pemberian bimbingan, penertiban atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan terutama mengenai administrasi umum, administrasi di bidang kepegawaian, keuangan, perlengkapan, proyek pembangunan, intelijen, tindak pidana umum, tindak pidana khusus, perdata, dan tata usaha negara dilingkungan Kejaksaan serta Pengadministrasiannya;
c. Pelaksanaan pengusutan, pemeriksaan atas laporan, pengaduan, penyimpangan, penyalagunaan jabatan atau wewenang dan mengusulkan penindakan terhadap pegawai Kejaksanaan yang terbukti melakukan perbuatan tercela atau terbukti melakukan tindak pidana;
d. Pemantauan dalam rangka tindak lanjut pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
e. Pembinaan dan peningkatan kemampuan, keterampilan serta integritas kepribadian aparat pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
f. Pembinaan kerja sama dan pelaksanaan koordinasi dengan aparat pengawasan fungsional instansi lain mengenai pelksanaan pengawasan pada umumnya;
g. Pengawasan teknis atas pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang Kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
h. Pemberian saran pertimbangan kepada Jaksa Agung dan pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai denga petunjuk Jaksa Agung.
Pelaksanaan fungsi penuntutan yang dijalankan oleh lembaga kejaksaan memengang peranan yang penting dalam menyelesaikan perkara. Dalam hal ini, Jaksa menjadi pihak yang menentukan dalam membawa alur perkara yang masuk ke pengadilan dimana pengajuan dakwaaan, terdakwa dan barang bukti serta alat bukti berada ditangan kejaksaan. Kejaksaan memiliki peran yang besar dalam mencipta alur perkara ke arah pembuktian yang kuat atau lemah dan bermuara pada tingkat kesalahan serta pemidanaan seorang terdakwa.
Pembuatan surat dakwaan memang telah ditetapkan dalam Surat Edaran Jaksa Agung No: SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, sedangkan untuk pembuatan surat tuntutan telah digariskan dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE.001/J.A/4/1995 tentang pedoman Tuntutan Pidana. Apabila merujuk pada SE tersebut diatas selayaknya produk penuntutan yang dihasilkan adalah produk yang sudah melalui proses yang baik. Namun pada faktanya masih banyak surat dakwaan yang lemah dan bolongnya, yang mengakibatkan tersangka akhirnya bebas demi hukum.
Guna mewujudkan lembaga kejaksaan yang akuntabel dan berintegritas tinggi melalui kapasitas kemampuan dalam menghasilkan produk penuntutan agar pelaksanaan fungsi penuntutan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan hukum (legal justice) dan keadilan masyarakat (sosial justice) dalam pelaksanaannya, selain mekanisme pengantian personel kejaksaan tinggi negeri, kejaksaan negeri dan kejaksaan negeri pembantu perlu dilakukan perbaikan sistem pengawasan yang melibatkan masyarakat sehingga masyarakat mengetahui kinerja garda terdepan penegakan hukum di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya.

2. Kepolisian
Status kepolisian sebagai komponen penyelidikan dan penyidikan telah diatur jelas dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1997 jo UU No. 22 tahun 2002 tentang Kepolisian.
Setelah terpisah dari lingkungan ABRI lembaga kepolisian lebih dapat mandiri serta lebih terintegral dengan kesatuan sistem dengan aparat penegak hukum lainnya. Serta dalam penyelidikan dan penyidikan tidak ada lagi ada kata keseganan untuk melakukan hal yang sama kepada kesatuan lamanya yaitu ABRI. Kekuasaan kepolisian sebagai lembaga penyelidikan dan penyidikan diharapkan mampu memberikan hal yang terbaik bagi penegakan hukum di Indonesia.
Dalam sisi lain kepolisian disebutkan sebagai alat negara penegak hukum yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 13/1961 dan pasal 30 (4) UU No. 20/1982 serta pasal 13 sub a UU No. 28 tahun 1997.

b. Komisi Pemberantasan Korupsi
KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Tugas, Wewenang, dan Kewajiban dalam (Pasal 6)
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK);
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Koordinasi (Pasal 7)
1. Koordinasi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan TPK;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan TPK;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan TPK kepada instansi terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan TPK.
Supervisi (Pasal 8 Ayat 1) KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya di bidang pemberantasan TPK, serta instansi yang melaksanakan pelayanan publik.
Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan (Pasal 11 dan 12) KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan TPK yang:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara (PN), dan orang lain yang ada kaitannya dengan TPK yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau PN;
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ini, KPK berwenang:
1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
2. Memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait;
7. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan TPK yang sedang diperiksa;
8. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara TPK yang sedang ditangani.
Pencegahan (Pasal 13) Wewenang KPK dalam langkah atau upaya pencegahan TPK:
1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan PN (LHKPN);
2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
3. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
4. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan TPK;
5. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan TPK.
Monitor (Pasal 14) Dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas serta mencegah terjadinya TPK di lembaga Negara dan pemerintahan, KPK diberi amanat oleh undangundang untuk melaksanakan tugas monitor, dengan kewenangan:
1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; Memberikan saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;
2. Melaporkan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.