Selasa, 08 September 2009

MURTAD DAN AKIBATNYA TERHADAP PERKAWINAN

Murtad
Dalam agama Islam istilah murtad atau peralihan agama ini adalah peralihan dari agama Islam kepada agama non-Islam yang disebut dengan istilah murtad (“apostacy”).
Konotasi peraliahan agama tersebut sesuai dengan pemahaman ajaran Islam mengenai agama, bahwa agama yang dianggap hak/benar hanyalah agama Islam, berdasarkan ketentuan Allah yang terdapat dalam al-Quran, yaitu:


a. Q.S. Ali Imran [III]: 19 yang berbunyi: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...”
b. Q.S. Luqman [XXXI]: 30 yang berbunyi: “Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil;...”
c. Q.S. Ali Imran [III]: 85 yang berbunyi: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya...”
Asal kata dari kata murtad di dalam bahasa Arab adalah: irtadda yang artinya berbalik kembali. Murtad adalah kembalinya seseorang muslim yang berakal dan baligh dari Islam menjadi kafir atas kemauannya sendiri tanpa paksaan dari siapapun, baik dia laki-laki maupun perempuan.
Firdaus dalam tulisannya riddah sebagai kanker akidah memberikan faktor penyebab yang bisa mempengaruhi jiwa seseorang sehingga beralih dari yang benar kepada yang salah yaitu:
a. Faktor fsikologis. Salah satu bentuknya adalah faktor cinta. Pengaruh rasa cinta yang berkecamuk dalam diri seseorang, jika tidak berhati-hati dan waspada akan merusak iman dan aqidah seseorang.
b. Faktor sosial dan lingkungan. Faktor ini tidak sedikit mempengaruhi jiwa seseorang. Jika seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok yang mempunyai ideologi (ajaran) yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka pengaruhnya ke dalam diri anggotanya bertambah besar, karena dibujuk dan dirayu dengan berbagaai godaan dan rayuan duniawi yang menyesatkan.
c. Faktor politis. Faktor ini amat berperan dalam memurtadkan manusia dari agamanya, salah satu contoh adalah gerakan misionaris kristen yang aktif hampir di seluruh Indonesia, walaupun mereka harus menyesuaikan diri pada kondisi-konsisi setempat.
Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [II]: 217 juga menerangkan tentang akibat dari murtad, yang berbunyi:
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka amal mereka menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.
Konsepsi Islam tentang murtad jika dikaitkan dengan permasalahan perkawinan adalah penyebab dari putusnya hubungan perkawinan. Hal ini, didasari oleh firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 221 dan Q.S. Mumtahanah: 10 yang berbunyi:
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman; sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman; sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walau pun dia menarik hatimu”.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (betul-betul) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami) mereka orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Namun pelarangan hal tersebut masih terdapat pengecualian yaitu sesuai dengan firman Allah Q.S. al-Maidah: 5 yang berbunyi:
”(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”.
Walaupun dalam Q.S. al-Maidah: 5, laki-laki muslim diperbolehkan mengawini perempuan-perempuan ahli kitab, namun para ulama berpendapat bahwa yang lebih diutamakan adalah meninggal terjadinya perkawinan dengan wanita ahli kitab, sedangkan Perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim adalah haram mutlak sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221.
Menurut pendapat penulis persoalan murtad di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tidak mengatur secara jelas. Sehingga masih perlu diadakan perubahan untuk persoalan ini yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.
Pada zaman modern ini, kebebasan adalah termasuk dalam Hak Asasi Manusia. Kebebasan dalam hal ini dapat diartikan lebih lanjut dalam persoalan agama, sehingga menimbulkan arti bahwa agama adalah hak azasi seseorang dalam menentukan dan memilihnya.
Islam sebagai agama juga telah menerangkan bahwa: “Tidak ada paksaan dalam agama...”. Banyak kalangan yang menafsirkan bahwa ayat ini menyatakan tidak ada paksaan dalam milih agama sehingga perbuatan murtad tidak dipersalahkan atau diperbolehkan. Pernafsiran seperti ini sangat tidak beralasan karena menurut penulis ayat ini menerangkan bahwa benar tidak ada paksaan dalam beragama, namun jika seseorang telah memilih Islam sebagai agamanya, maka ada ikatan dan kewajiban yang harus ia lakukan dan taati dengan sepenuhnya, dan salah satunya adalah persoalan pelarangan pindah kepada agama lain (murtad) dan akibat hukumnya.
Persoalan kemurtadan seseorang dianggap sebagai suatu hal khusus dan penting jika dikaitan dengan perkawinan. Ada kesepakatan umum bahwa ikatan perkawinan tidak dapat mengikat wanita muslimah dengan seorang laki-laki yang bukan Islam. Tetapi timbul kesukaran bila wanita itu menjadi murtad, sebagai salah satu cara untuk melepaskan diri dari suami yang tidak baik, yang kejam atau yang tidak mereka sukai.
Melihat fenomena yang banyak terjadi, perlu kiranya dibahas mengenai persoalan murtad dalam bab ini, yang akan diterang sejelasnya mengenai persoalan ini. Murtad adalah suatu kata yang jika terjadi akan mengakibatkan terjadinya putus terhadap sebuah perkawinan, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No.1 tahung 1974 tentang Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk memperluas pengetahuan mengenai konsepsi murtad dan hubungannya dengan perkawinan akan dibahas dalam bab ini.

Konsepsi Umum Murtad
Murtad yang di maksud dalam penelitian ini adalah peralihan agama atau perpindahan agama dari agama Islam kepada agama non-Islam. Namun peralihan atau perpindahan dari agama non-Islam kepada agama non-Islam bukanlah dinamakan murtad karena mereka tetap dalam keadaan kafir dan perpindahan dari agama Islam ke agama lain sama dengan pindah dari kebenaran ke wadah yang tidak benar. Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. Ali Imran [III]: 85 yang berbunyi:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.

Murtad berasal dari bahasa arab yaitu riddah yang mempunyai arti “kembali ke jalan asal”. Sedangkan dalam bahasa Inggris adalah apostasy yang mempunyai arti “to retreate, to ritire, to withdraw from or fall baek from”.
Murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam dan pindah ke agama lain atau ke sesuatu yang bukan agama. Dalam melakukan itu semua ia berakal, bisa membedakan dan sukarela tidak dipaksa.
Murtad adalah orang yang ragu-ragu yang keluar dari agama Islam yang kembali kepada ke kufuran, atau mengingkari semua ajaran Islam baik dalam keyakinan, ucapan atau perbuatan.
Timbul pertanyaan kapan seorang Islam dianggap telah murtad?. Orang Islam tidak bisa dianggap keluar dari agamanya dalam artian telah murtad kecuali bila ia melapangkan dadanya menjadi tenteram terhadap kekufuran, sehingga ia melakukan perbuatan kufur itu.
Dapat diartikan bahwa apa yang tersirat dalam hati itu gaib dan tidak dapat diketahui oleh siapa pun kecuali Allah. Maka untuk mengetahui kekafiran seseorang diperlukan adanya sesuatu yang menunjukkan kekafirannya sebagai bukti yang pasti dan tidak dapat ditafsirkan lagi.
Dalam masalah ini, imam Malik berkata: “jika keluar dari seseorang yang mempunyai 99 alternatif kekafiran dan satu alternatif keimanan, maka ia digolongkan sebagai orang yang beriman”.
Dalam buku Fiqhussunnah diberikan contoh-contoh yang menunjukan kepada kekafiran antara lain:
1. Mengingkari ajaran agama yang telah ditentukan secara pasti. Umpamanya keesaan Allah, mengingkari ciptaan Allah terhadap alam, mengingkari adanya malaikat, mengingkari kenabian Muhammad SAW, mengingkari Al-Quran sebagai wahyu Allah, mengingkari hari kebangkitaan dan pembalasan, mengingkari kefardhuan shalat, zakat puasa dan haji.
2. Menghalalkan apa yang telah disepakati keharamannya. Umpamanya menghalalkan minum arak, zina, riba, memakan daging babi, dan menghalalkan membunuh orang-orang yang terjaga darahnya.
3. Mengharamkan apa yang telah disepakati kehalalannya. Umpamanya mengharamkan makan nasi.
4. Mencaci-maki Nabi SAW, demikian pula mencaci Nabi-nabi Allah sebelumnya.
5. Mencaci-maki agama Islam; mencela al-Quran dan sunnah Nabi, dan berpaling dari hukum yang ada dalam al-Quran dan sunnah Nabi.
6. Mengaku bahwa wahyu Allah telah turun kepadanya. Ini tentu saja selain Nabi Muhammad.
7. Mencampakkan mashaf al-Quran atau kitab-kitab hadis ke tempat-tempat kotor dan menjijikan sebagai penghinaan dan menganggap enteng isinya.
8. Meremehkan nama-nama Allah, atau meremehkan perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, janji-janji-nya.
Dari contoh murtad yang ada dipaparkan di dalam Fiqhussunnah, dapat disimpulan terjadinya murtad disebabkan karena tiga sebab:
1. Perbuatan yang mengkafirkan, seperti sujud pada berhala, menyembah bulan, batu dan lain-lain.
2. Perkataan yang mengkafirkan, seperti menghina Allah atau rasul-Nya, begitu juga memaki salah seorang Nabi Allah.
3. Itikad (keyakinan) seperti mengitikadkan alam kekal, Allah baru, menghalalkan zina, menghalalkan minuman arak, begitu juga mengharamkan yang disepakati ulama akan halalnya.
Murtad adalah merupakan dosa besar yang dapat menghapus amal-amal saleh sebelumnya. Hukuman yang diancam oleh Allah Sesuai dengan firman-Nya, Q.S. al-Baqarah [II]: 217,
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Dan hadist Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menganti agamanya (Islamnya), maka bunuhlah ia!”.
Hadits lain yang membahas mengenai murtad adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Tidaklah halal darah seorang Islam kecuali ia menjalankan salah satu dari tiga perkara, yaitu:
1. Kafir setelah beriman
2. Berbuat zina setelah menjadi orang muhshan
3. Membunuh orang yang dijaga darahnya”.

Kedudukan Murtad Dalam Perkawinan
Murtad mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan seseorang, terutama dalam hubungannya dengan masyarakat seperti perkawinan, hak waris dan hak-hak lainnya.
Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat mengenai larangan perkawinan yang mengakibatkan adanya pencegahan dan pembatalan perkawinan. Larangan perkawinan itu dijelaskan antara lain pada Pasal 8 butir f yaitu perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Kompilasi Hukum Islam juga menuangkan hal tersebut pada Pasal 40 yakni dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Kemudian pada Pasal 44 diterangkan bahwa “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Sedangkan menurut Idris Ramulyo larangan perkawinan itu antara lain:
1. Larangan perkawinan karena berlainan agama
2. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat
3. Larangan perkawinan karena hubungan susuan
4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda
5. Larangan perkawinan polyandri
6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di li’an
7. Larangan perkawinan wanita/pria penzina
8. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap isteri (bekas isteri yang ditalak tiga
9. Larangan perkawinan bagi pria yang telah beristeri empat.
Di dalam Islam juga dikenal pernikahan yang tidak sah antara lain:
1. Pernikahan mut’ah, yaitu nikah yang tujuannya semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu belaka, untuk bersenang-senang dan diadakan waktu tertentu; sebentar atau lama. Nikah mut’ah ini pernah dihalalkan oleh Rasulullah saw di zamannya, kemudian beliau mengharamkan untuk selama-lamanya.
2. Pernikahan syiqhar, yaitu nikah tukar yaitu seorang laki-laki menikahkan seorang wanita yang di bawah perwaliannya dengan laki-laki lain, dengan perjanjian bahwa laki-laki lain itu menikahkan pula seorang wanita yang di bawah perwaliannya dengan laki-laki itu tanpa kesediaan membayar mahar. Contoh si A menikahkan dengan putrinya dengan si B dengan syarat si B menikahkan putrinya dengannya, baik keduanya menyebutkan maharnya kepada pihak satunya atau tidak menyebutkan.
3. Pernikahan muhallil, yaitu nikah yang tujuannya untuk menghalalkan bekas isteri yang telah ditalak tiga kali bagi suami yang telah mentalaknya itu, sehingga mereka dapat nikah kembali. Menurut Islam seorang wanita ditalak tiga dan suaminya diharamkan rujuk kepadanya, kecuali bekas isteri telah nikah dengan laki-laki lain dengan perkawinan yang sebenarnya kemudian bercerai atau suami keduanya meninggal dunia dan telah habis masa iddahnya.
4. Pernikahan orang yang sedang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang ihram dengan haji atau umrah dan belum memasuki waktu tahallul.
5. Pernikahan dalam masa iddah, yaitu seseorang wanita yang sedang menjalani masa iddah karena bercerai dengan suaminya atau karena suaminya meninggal dunia.
6. Pernikahan tanpa wali, yaitu seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa seizin walinya.
7. Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab.
Dalam bukunya Kamal Muchtar menambahkan tentang nikah yang dilarang yaitu:
1. Nikah Tafwidh yaitu nikah yang di dalam shighat akadnya tidak dinyatakan kesediaan membayar mahar oleh pihak calon suami kepada pihak calon isteri.
2. Nikah yang kurang salah satu dari syarat-syarat atau rukunnya.
Kaitan murtad dengan perkawinan beda agama. Sebenarnya, hukum perkawinan beda agama sudah umum diketahui masyarakat. Persoalan ini muncul ketika hal ini banyak dipraktekkan dan berkembang di masyarakat. Selain, masalah kemerosotan aqidah umat yang telah berlangsung, fenomena perkawinan beda agama banyak juga dipicu oleh contoh yang dilakukan kalangan artis dan selebriti, di samping itu munculnya paham sinkretis dan pluraslime menambah fenomena negatif tersebut.
Kasus terakhir tentang pernikahan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh artis Yuni Shara yang muslimah dengan Henry Siahaan yang kristen. Salah satu anggota komisi kerukunan umat beragama MUI, Adian Husaini, dengan prihatin menulis kasus ini seperti yang dimuat di harian Republika yang dikutip dalam buku Budi Handrianto yang berjudul Perkawinan Beda Agama. Berikut kutipannya:
Yuni shara resmi menikah untuk kedua kalinya. Suaminya kali ini adalah Henry Siahaan, pria yang sukses mengantar isteri pertamanya, penyanyi Nur Afni Octavia, berpendah agama menjadi kristen. Perkawinan artis yang nama aslinya wahyu setyaning Budi ini dilakukan pada tanggal 5 Agustus 2002 di District’s Office di Perth, Australia. Perkawian ini kemudian dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Bekasi pada tanggal 7 Agustus 2002. Lalu pada tanggal 11 Agustus diadakan pesta perkawinan yang juga dihadiri oleh sejumlah pejabat penting dan mantan perjabat seperti Gubernur Sutiyoso dan mantan Kapolri Beimantoro.

Menurut Yuni Shara, perkawinannya dengan Henry Siahaan sudah tertunda selama lima tahun. Yang anehnya kepada wartawan Henry menyatakan, “Saya saat ini menyadari, saya dan yni ini seiman. Cuma kita beda agama saja. Tetapi perbedaan agama itu harus disyukuri bukannya dijadikan penghalang”. Di dalam majalah swara cantika Edisi No. 72/2002 dikutip ucapan Henry, “yang penting bukan masuk Islam atau kristen, tapi masuk surga”.
Perkawinan Yuni Shara (muslimah) dengan Henry Siahaan (kristen) tampaknya tidak dipersoalaan media massa. Tokoh-tokoh Islam dan kalangan ulama pun seperti bungkam. Padahal perkawinan antar agama muslimah dan laki-laki non-muslim tidak mendapat tempat di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Bahkan jauh sebelumnya pada tanggal 1 Juni 1980, MUI telah mengeluarkan fatwa, “bahwa seseorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dinikahkan dengan seorang pria bukan Islam”. Jadi dari segi hukum positif maupun hukum Islam perkawinan Yuni dan Henry itu memang tidak sah. Anehnya, mengapa pers, masyarakat dan para tokoh agama diam saja?.
Jawabannya, mungkin karena sebelumnya sudah banyak artis muslimah yang melakukan hal serupa sehingga perkawinan semacam itu dianggap sebagai hal biasa. Sebut saja nama Nurul Arifin yang merelakan dirinya dikawini Mayong Suryolaksono yang Katholik, juga Ira Wibowo yang menikah dengan Katon Bagaskara (Kristen), lalu Amara dengan Frans Lingua dan masih banyak kasus lainnya.
Kedudukan perkawinan beda agama dalam syari’at Islam. Hukum perkawinan tersebut di bagi menjadi dua yakni, perkawinan pria muslim dengan wanita non-muslim dan perkawinan wanita muslim dengan pria non-muslim. Wanita non-muslim terbagi berbagai macam yaitu: wanita musyrik, wanita atheis, wanita murtad dan wanita ahli kitab.
Al-Jaziry membedakan orang-orang non-muslim atas tiga golongan:
a. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam kitab samawi. Mereka adalah penyembah berhala. Orang murtad disamakan dengan mereka.
b. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi. Mereka adalah orang-orang Majusi yang menyembah api, mereka mengubah-ubah kitab yang diturunkan kepada mereka dan membunuh nabi mereka dari Zaradusyta.
c. Golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka adalah orang Yahudi yang percaya kepada kitab Taurat dan orang-orang Nasrani yang mempercayai taurat dan injil.
Sementara Yusuf al-Qardawi membagi golongan non-muslim atas golongan musyrik, murtad, baha’i, dan ahlu kitab. Musyrik adalah orang yang penyembah berhala, mulhid adalah golongan ateis, murtad adalah golongan yang keluar dari Islam, baha’i termasuk ke dalam golongan murtad dan ahlu kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani.
Dari pengolongan ini timbul pertanyaan mengenai murtad, apakah mereka tidak termasuk musyrik ataukah masuk ke dalam golongan musyrik. Dalam permasalahan ini ada berbagai pandangan sehingga timbul perbedaan apakah hukum menikahi mereka.

1. Hukum menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim.
Seluruh ulama sejak masa sahabat sampai abad modern ini dan insya Allah sampai hari kiamat sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan pria non-muslim. Pada Q.S. al-Baqarah ayat 221 menunjukan keharamannya. Keharaman itu mutlak artinya wanita Islam secara mutlak haram menikah dengan laki-laki yang bukan beragama Islam baik itu laki-laki musyrik atau ahli kitab.
Perintah ini ditujukan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita muslimah kepada laki-laki yang tergolong kafir musyrikin, keharaman ini tidak ada pembatasan atau pengikatnya.
Sayyid Quthb mengatakan bahwa pertimbangan keharaman tersebut adalah kekuasaan isteri berada di tangan suami. Menurut kaidah dan budaya manapun, suami adalah pemimpin dan kepala rumah tangga yang berhak dihormati, dipatuhi dan ditaati oleh seluruh anggota keluarga termasuk isteri.
Dengan suami kafir yang menjadi kepala rumah tangga maka ia bisa saja memaksa isteri dan anak-anaknya baik secara halus maupun kasar untuk berpindah agama.
Selain ulama sepakat, pemerintah dunia Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga pernah mengeluarkan memorendum tentang HAM yang isinya menolak pasal 16 ayat 1 dari Universal Declaration of Human Rights. Pasal itu berbunyi, “pria dan wanita dewasa tanpa dibatasi oleh ras, kebangsaan atau agama memiliki hak untuk kawin dan membuat suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak yang sama perihal perkawinan selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.” Dalam memorandum OKI ditekankan bahwa harus ada “kesamaan agama” bagi muslimah. Ditegaskan perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim dan kesatuan agama bagi setiap muslimah.
2. Hukum menikah pria muslim dengan wanita bukan Islam.
a. Dengan wanita musyrik
Agama Islam melarang seorang pria muslim kawin dengan wanita musyrik, yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lain seperti penyembah berhala, dewa-dewa atau ruh-ruh (animisme). Secara mutlak hukum perkawinan dengan wanita musyrik adalah haram. Sesuai dengan Q.s. al-Baqarah ayat 221.
Ayat dalam surat al-Baqarah ini turun di Madinah berkenaan dengan sebuah peristiwa yang menyangkut sahabat Nabi saw bernama Kunnaz bin Hashim al Ghanawi. Ia juga dijuluki Martsad bin Abi Martsad. Kunnaz diutus Rasulullah saw membawa satu misi. Di Mekah ia mengenal seorang wanita bernama ‘Inaq yang dicintainya sejak zaman jahiliah pra Islam tempo dulu.
Kunnaz datang menemui ‘Inaq dan memberitahukan kepadanya bahwa Islam telah melarang apapun yang dulu biasanya dilakukan di zaman jahiliah. Lantas wanita itu menjawab “kalau begitu, kawinilah aku.” Kunnaz menjawab “aku akan minta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah.” Setelah sampai ke Madinah Kunnaz menanyakan hal itu kepada Rasulullah beliau menjawab “kamu tidak boleh mengawini perempuan musyrik itu sebab kamu adalah seorang muslim dan ‘Inaq adalah seorang musyrik.” Maka turunlah ayat ini.
Dalam ayat lain Allah juga menyatakan larangan-Nya seperti dalam surat al-Mumtahanah ayat 10:
“...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir...”

ayat ini menambah dan memperkuat dalil dilarangnya kaum muslimin untuk menikahi wanita musyrikah. Para ulama telah sepakat bahwa mengawini wanita musyrikah hukumnya haram dengan tidak ada perselisihan.
b. Dengan wanita atheis
Perkawinan seorang muslim dengan wanita atheis hukumnya haram. Hal ini berdasarkan mafhum dari surat al-Baqarah ayat 221. Seorang atheis sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian ia tidak mempunyai agama, tidak mempercayai hari akhir, kitab suci maupun nabi-nabi Allah.
Apabila seorang muslim dilarang untuk menikahi wanita musyrikah penyembah berhala yang secara umum masih mengakui adanya Tuhan, maka sudah tentu mengawini wanita atheis lebih buruk keharamannya.
c. Dengan wanita murtad
Mengawini wanita murtad hukumya juga haram. Yusuf Al Qardhawi menyamakan wanita murtad dengan wanita musyrikah yang haram untuk dikawini. Seorang wanita yang murtad dari agama Islam dipandang tidak beragama sekalipun ia pindah kepada agama samawi. Sehingga menikah dengan wanita yang tidak beragama samawi tergolong musyrikat dan termasuk ke dalam larangan umum. [Q.S. al-Baqarah ayat 221].
Perbuatan murtad adalah dosa besar. Orang murtad tidak berhak mendapat bantuan apapun dari masyarakat Islam, tidak boleh melakukan perkawinan dengan mereka, baik baru berumah tangga maupun melanjutkannya.
Dalam hukum Islam, seseorang yang murtad dijatuhi hukuman mati. Tentu setelah diberikan kesempatan untuk bertaubat, “Barangsiapa yang mengganti agamanya, bunuhlah ia”. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Tirmidzi. Berarti wanita yang murtad seyogianya dihukum mati menurut jumhur ulama, apabila hukum Islam diterapkan. Sementara Imam Hanafi berpendapat cukup dipenjara dan tidak perlu dibunuh.
Seorang muslim tidak diperbolehkan mengawini golongan murtaddah ini karena pada hakikatnya mereka sudah tidak punya hak untuk hidup. Apabila murtadnya di tengah-tengah perkawinan maka perkawinannya menjadi fasakh (rusak). Ia harus diceraikan. Jadi apabila ada pasangan suami isteri muslim, salah satunya baik suami atau isteri keluar dari agama Islam menuju agama apapun atau sama sekali tidak beragama, maka perkawinannya menjadi batal.
Berkaitan dengan pasangan suami isteri yang berpindah agama, ada beberapa hukum penting yang wajib menjadi perhatian:
1) Jika suami isteri keduanya kafir kemudian masuk Islam secara bersama-sama, maka mereka tetap dalam perkawinan yang lalu. Artinya tidak perlu mengulang kembali akad nikah secara Islam. Hal tersebut dikecualikan apabila perkawinan yang lalu tersebut dipandang dari agamanya yang lama tidak sah.
2) Bila pasangan suami isteri kafir hanya satu yang masuk Islam maka:
a) Seorang suami yang memiliki isteri ahli kitab kemudian laki-laki tersebut masuk Islam sedang wanitanya tidak maka keduanya tetap pada pernikahannya. Hal ini karena dalam Islam menurut jumhur ulama seorang muslim boleh menikahi wanita ahli kitab. Pasangan suami isteri ini masih bisa melanjutkan rumah tangganya.
b) Suami isteri kafir yang bukan ahli kitab kemudian salah satunya masuk Islam maka perkawinannya menjadi batal. Apabila salah satu masuk Islam sebelum masa idddah selesai maka bisa bersatu tanpa akad baru. Namun apabila yang satu lagi masuk Islamnya setelah selesai masa iddah, maka jumhur ulama keduanya boleh kembali dengan akad nikah yang baru.
c) Bila wanita kafir dan bersuami laki-laki kafir yang keduanya bukan ahli kitab, kemudian sang wanita masuk Islam sebelum terjadinya hubungan badan, maka perkawinan mereka menjadi batal.
d) Bila pasangan muslim salah satu suami atau isteri murtad bila masuk agama Yahudi atau Nasrani atau agama lainnya atau tidak beragama, maka keduanya harus dipisahkan karena perkawinannya batal, kecuali dia bertaubat masuk Islam kembali sebelum masa iddah, bila taubat setelah masa iddah maka adanya harus diulang lagi.
d. Dengan wanita penerima kitab selain ahli kitab
Di negara Indonesia dikenal berbagai agama selain Islam. Ada Kristen-Katholik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Pada masa orde baru, umat Islam hidup berdampingan dengan mengakui agama mereka sebagai agama resmi yang akui negara yang mereka mempunyai kitab dan nabi.
Sehingga timbul pertanyaan bagaimanakah menikah dengan wanita dari golongan mereka? Jawaban dari pertanyaan ini adalah mengawini wanita dari golongan mereka adalah haram, meskipun yang mereka punyai kitab yang berisi kebaikan-kebaikan atau berisi kata-kata bijak dan mempunyai nabi yang diakui sebagai perintis agama tersebut, keberadaan mereka termasuk di dalam golongan musyrik karena di dalam al-Quran maupun sunnah yang menjelaskan keberadaan mereka, maka kembali kepada hukum umum, sebagaimana yang telah diterangkan oleh al-Quran bahwa orang kafir selain ahli kitab adalah musyrik.
e. Dengan wanita ahli kitab.
Banyak sekali perbedaan pandangan ulama dalam penikahan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Perbedaan ini timbul karena kedudukan dari wanita ahli kitab.
Padangan ulama tentang hukum menikahi kitabiyah terbagi atas tiga golongan
1) golongan yang menghalalkan
Golongan ini berpendapat bahwa menikahi perempuan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) halal hukumnya. Termasuk dalam golongan ini jumhur ulama. Pendirian golongan ini berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a) Firman Allah Q.S. al-Maidah ayat 5.
“...wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik...”. Ayat ini menunjukan tentang menghalalkan menikahi perempuan ahli kitab.
b) Sejarah menunjukan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah menikahi perempuan ahli kitab, hal ini menunjukan pula bahwa menikahi perempuan ahli kitab itu halal hukumnya.
Di antara golongan yang memandang halal menikahi perempuan ahli kitab adalah mereka yang telah membayar jizyah dan bukan ahli kitab yang tidak membayar jizyah karena tetap berlaku padanya hukum perang menurut surat at-Taubah ayat 29.
Menurut qaul mu’tamad dalam mazhab Syafi’i, perempuan ahli kitab yang halal dinikahi oleh muslim ialah perempuan yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sebagaimana agama nenek moyang mereka tersebut semenjak masa sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul (yakni sebelum al-Quran diturunkan). Tegasnya orang baru yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sesudah al-Quran diturunkan tidaklah dianggap ahli kitab, karena terdapat perkataan min qablikum (dari sebelum kamu) dalam ayat 5 surat al-Maidah. Jadi menurut mazhab Syafi’i mengakui ahli kitab bukan karena agamanya tetapi menghormati asal keturunannya.
2) Golongan yang mengharamkan
Golongan kedua ini berpendirian bahwa menikahi perempuan ahli kitab haram hukumya, Umar r.a. termasuk dalam golongan ini. Adapun alasan yang dipegang oleh golongan ini:
a) Firman Allah Q.S. al-Baqarah [II]: 221, yaitu “dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman...”.
b) Firman Allah Q.S. al-Mumtahinah: 10, yaitu “...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir...”
Kedua ayat ini jelas melarang kita menikahi perempuan-perempuan kafir, ahli kitab termasuk golongan orang kafir musyrik karena Yahudi menuhankan ‘Uzer dan orang Nasrani menuhankan Isa ibnu Maryam, di mana dosa syirik tidak diampuni oleh Allah, jika mereka tidak bertaubat kepada Allah SWT, sebelum mereka mati.
Adapun ayat Q.S. Al-Maidah [V]: 5, menurut golongan ini hendaklah diihtimalkan kepada perempuan ahli kitab yang telah masuk Islam atau diihtimalkan kepada pengertian bahwa kebolehan menikahi ahli kitab adalah pada masa (keadaan) perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya.
3) Golongan yang menghalalkan tetapi siasat tidak menghendakinya.
Golongan ini berpendirian bahwa menikahi perempuan ahli kitab halal hukumnya tetapi siasat tidak menghendakinya. Pandangan ini berdasarkan bahwa Umur pernah berkata kepada para sahabat Nabi yang menikahi perempuan ahli kitab: “ceraikanlah mereka itu!” perintah ini dipatuhi oleh para sahabat Nabi kecuali Huzaifah. Maka Umar mengulangi perintahnya agar Huzaifah menceraikan isterinya, lantas Huzaifah berkata: “Maukah engkau menjadi saksi bahwa menikahi perempuan ahli kitab hukumnya haram?” umar berkata: “Dia akan menjadi fitnah. Ceraikanlah!”
Yusuf Qardhawi dalam fatwanya memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila seorang pria muslim hendak mengawini wanita ahli kitab:
a. Wanita ahli kitab tersebut diyakini betul-betul ahli kitab yaitu mereka yang beriman kepada agama Yahudi dan Nasrani. Artinya secara garis besar dia beriman kepada Allah, beriman kepada kerasulan dan beriman kepada hari akhir, bukan orang atheis atau murtad dari agamanya dan bukan pula orang yang beriman kepada suatu agama yang tidak mempunyai hubungan dengan langit sebagaimana yang sudah dikenal.
b. Wanita ahli kitab tersebut adalah wanita yang menjaga kehormatannya (muhshanat).
c. Wanita ahli kitab tersebut bukan golongan mereka yang memusuhi dan memerangi umat Islam.
d. Sang suami harus lebih dari sang isteri. Lebih dari segi ekonomi, pendidikan, daya nalar serta kuat imam Islamnya. Hal ini menjaga agar pria muslim tidak akan tergoda dan terlena sehingga ia melepaskan aqidahnya dan beralih kepada agama sang isteri.
e. Masalah kemudharatan. Jika lebih banyak mudharatnya dibandingkan dengan manfaatnya maka sebaiknya ditinggalkan.
Di Indonesia persoalan perkawinan beda agama ini telah disikapi oleh Majelis Ulama Indonesia dengan mengeluarkan fatwa MUI tentang Perkawinan campuran yang disadur secara lengkap:
Bismillahirrahmanirrahim
Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980, setelah:
Mengingat:
1. Firman Allah:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu mengawinkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. (larangan itu karena) mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan ijin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil perlajaran.” (al-Baqarah:221)

2. Firman Allah:
”(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (al-Maidah: 5)

3. Firman Allah:
“...Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)orang-orang kafir. Mereka (wanita-wanita muslimah) tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka...” (al-Mumtahanah: 10)

4. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (at-Tahrim: 6)

5. Sabda Nabi Muhammad:
“Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu hendaklah ia taqwa kepada Allah dalam sebahagian yang lain.” (HR. Tabrani)

6. Sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i:
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka ibu bapaknyalah yang menjadikan (beragama) Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Aswad bin Sura’i)

Memutuskan:
Memfatwakan:
1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah haram hukumnya.
2. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadat-nya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.
Persoalan perkawinan beda agama seringkali diremehkan dengan menggunakan taktik murtad. Dan biasanya untuk mengakali pihak keluarga atau catatan sipil, sang suami pura-pura masuk Islam. Orang tua akan merasa senang karena sang anak bisa menarik calon suaminya memeluk agama Islam, demikian pula dengan keluarganya. Hal demikian ini juga tidak selalu mulus karena belum tentu keluarga pasangan pria menerima murtadnya salah satu keluarga mereka.
Setelah selesai menikah beberapa bulan atau tahun sang suami pindah ke agama semula. Perbuatan pindah agama sementara itu, apakah hanya untuk melegalisasi perkawinannya atau punya tujuan lain seperti kristenisasi, tidak akan berhasil andai kata sang isteri yang muslimah punya pendirian yang teguh.
Telah diketahui bahwa ulama sepakat bahwa riddahnya atau murtadnya (keluar dari agama Islam) seseorang dari suami isteri menyebabkan putusnya ikatan perkawinan, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menggolongkan apakah termasuk talak atau termasuk fasakh.
Di Indonesia putusnya ikatan perkawinan karena riddahnya seseorang dari suami isteri termasuk fasakh dan dilakukan di depan Pengadilan Agama. “Pengadilan Agama hanya dapat menerima riddahnya seseorang jika orang itu menyatakan sendiri dengan tegas di depan Pengadilan Agama itu bahwa ia keluar dari agama Islam”
Akibat Perkawinan Dengan Golongan Murtad
Banyak orang tidak menyadari resiko dari sebuah perbuatan, bekenaan dengan hukum Islam. Hal tersebut bisa dipahami karena hukum Islam sekarang ini memang tidak diterapkan. Artinya baik hukum Islam yang menyangkut masalah pidana apalagi perdata tidak dikenai sangksi apabila ada yang melanggar.
Buktinya perkawinan beda agama (murtad salah satunya) masih terus berlangsung, bahkan tidak sedikit yang terang-terangan mengakui bahwa perbuatannya itu tidak apa-apa.
Perkawinan beda agama (murtad) akan menimbulkan akibat, diantara yang pasti adalah:
1. Perzinaan
Seseorang yang melakukan perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat yang diminta oleh Islam maka perkawinannya tidak sah. Perkawinan wanita muslimah dengan pria non-muslim (murtad) adalah perkawinan yang termasuk tidak sah karena syarat agama tidak terpenuhi dan di dalam Islam sepasang manusia yang tidak terikat perkawinan melakukan hubungan biologis hukumnya adalah berzina.
2. Waris
Suami isteri yang berbeda agama, yang perlu diketahui oleh khalayak umum adalah mereka tidak saling menerima harta waris. Meskipun pasangannya kaya raya dengan harta berlimpah dan yang dia tidak mempunyai saudara lain kecuali isterinya (baik sah maupun tidak) maka pasangannya tidak berhak mewaris hartanya. Rasulullah pernah bersabda mengenai hal ini yaitu, “tidak saling menerima waris orang yang berbeda agama”. (HR. Muslim).
3. Nasab anak (garis keturunan)
Sebagaiman waris nasab anak pun tidak bisa disandarkan kepada ayahnya. Perkawinan yang tidak sah, anak yang dihasilkan sama dengan anak hasil perzinaan. Nasabnya hanya bisa disandarkan kepada ibunya yang telah mengandung dan melahirkannya. Bapak kandungnya apakah ia muslim atau kafir adalah bukan bapak yang sah karena perkawinannya tidak sah.
4. Perwalian.
Seseorang yang murtad tidak lagi mempunyai hak menjadi wali terhadap perwaliannya. Oleh sebab itu dia tidak berhak menjadi wali nikah anak perempuannya dan tidak pula bagi anak laki-lakinya yang belum akil baligh. Semua akad yang dilakukannya dianggap batal, karena hak kewaliannya menjadi gugur disebabkan kemurtadannya itu.
5. Pengurusan jenazah
Pengurusan jenazah bagi salah satu pasangan perkawinan tidak sah yang meninggal memang bukanlah hal yang krusial dalam masalah hukum Islam. Apabila ia masih beragama Islam maka dimakam secara hukum dan tata cara Islam. Tidak peduli dosa sebesar apapun yang telah dilakukannya. Umat Islam wajib mengurusnya sebagai bentuk kewajiban umum (fardhu kifayah).
Mengapa pengurusan jenazah perlu dikemukkan disini? Sebab tidak semua orang tahu apabila ada perkawinan beda agama salah satu pasangan yang beragama Islam meninggal. Biasanya kalau pasangan beda agama sudah menjalani perkawinan bertahun-tahun, orang sudah tidak peduli ia beragama apa. Pada saat pasangan yang muslim meninggal, sementara orang-orang yang di sekelilingnya beragama non-muslim tidak ada yang mengurusnya, bahkan, jangan-jangan penguburannya dilaksankan dengan tata cara non-Islam. Sulamiman Rasjid dalam bukunya menerangkan bahwa apabila orang murtad sudah dihukum mati, ia tidak boleh dimandikan, tidak shalatkan, dan tidak dikuburkan di perkuburan orang Islam
6. Hubungan sosial kemasyarakatan
Bagi seorang muslim yang menjalani perkawinan yang tidak sah, masyarakat akan mengucilkan dirinya dan keluarganya. Masyarakat muslim saat ini, terutama di daerah perdesaan masih sangat sensitif kalau ada pasangan beda agama, apalagi jika pasangan muslim tersebut sampai pindah agama ikut suami atau isterinya.
Masyarakat masih menganggap hal tersebut sebagai aib baginya. Kalaupun tidak mengucilkan mungkin masyarakat tidak akan mempergaulinya dengan baik.
Para ulama sepakat bahwa bentuk kekufuran yang paling buruk adalah kemurtadan(ar-riddah), kufur setelah Islam adalah lebih buruk daripada kufur yang asli. Musuh Islam akan tetap berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengembalikan kekufuran kepada pada pemeluk Islam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 217, yang berbunyi: “...mereka tidak henti-hentinya, memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup...”.
Kemudian Allah menjelaskan balasan orang yang mengikuti musuh yang menyesatkan dari ajaran agama itu dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 217 yang berbunyi: “...barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Kemurtadan dianggap sebagai pengkhianatan kepada Islam, karena di dalamnya terkandung desersi, pemihakan dari satu umat kepada umat yang lain. Ia serupa dengan pengkhianatan terhadap negara, karena dia menggantikan kesetiaan kepada negera lain, kaum yang lain.
Kemurtadan bukan sekadar terjadinya perubahan pemikiran, tetapi perubahan pemberian kesetiaan dan perlindungan, serta keanggotaan masyarakatnya kepada masyarakat yang lain yang bertentangan dan bermusuhan dengannya.