Jumat, 15 Oktober 2010

Korupsi dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
Di negara yang demokratis, penyelenggaraan Pemilu diupayakan untuk mandiri dari proses politik dan pemerintahan. Hal ini disebabkan karena di satu pihak, tidak diinginkan adanya intervensi dari proses politik dan pemerintahan terhadap hasil Pemilu. Di lain pihak, proses pemerintahan diharapkan berjalan tanpa dipengaruhi oleh atau dimanfaatkan untuk kepentingan pemenangan Pemilu. Hal inilah yang menjadi dasar pemisahan antara rezim Pemilu dengan rezim Pemerintahan.
Oleh karena itu salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di negara demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah. Hal ini telah terjamin dalam UUD 1945 Pasal 22 (5) yang menggariskan bahwa : Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Namun dalam UUD 1945 sendiri, pemisahan antara rezim Pemilu dengan rezim Pemerintahan belum sempurna. Hal ini tampak dari penempatan pengaturan Pemilu Presiden yang dalam UUD 1945 berada dalam bab kekuasaan pemerintahan.
Pemilihan umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan satu-satunya komisi negara yang mempunyai legalitas dan tanggung jawab sangat tinggi tinggi terhadap proses pemilu. KPU bukan sebuah lembaga yang berada dibawah struktur pemerintah daerah tetapi mitra kerja sama. Undang-undang secara implisit menghendaki kehadiran KPU sebagai lembaga yang independen dan dipercaya publik. Tugas membangun KPU sebagai lembaga yang dipercaya publik merupakan tugas yang sangat berat. Untuk itu KPU harus dibangun oleh orang-orang yang secara personal integritas dan moralitasnya sudah terbangun dan dipercaya oleh publik. Selain itu, perlu dibangun hubungan transparansi antara KPU dan masyarakat untuk mengontrol proses kerja KPU.
Keputusan KPU No. 68 tahun 2003 tangal 25 Maret 2003 secara tegas merumuskan arah kebijakan dalam proses rekrukmen Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten/kota untuk mewujudkan KPU yang dipercaya publik. KPU pusat menterjemahkan anggota KPU sebagai pekerja professional yang mengerti tentang kerja-kerja teknis dan menejemen pelaksanaan pemilihan umum.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis, ingin memberikan pemaparan terkait hal tersebut diatas, agar dapat menjadi tambahan pengetahuan dibidang pemilihan umum, dengan tujuan, apakah yang menjadi dasar pelaksanaan pemilu di Indonesia dan penerapan kedaulatan ditangan rakyat adalah bentuk demokrasi Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pemilihan Umum Di Indonesia
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil presiden diberbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilu dalam kata lain adalah suksesi berasal dari bahasa Inggris succession yang berarti the raight, act, or process by which on person succeds to the office, rank, estate or the like, of another. Suksesi kepemimpinan nasional berarti penyegaran atau pergantian unsur-unsur kepemimpinan.
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga tahun 2010 di Indonesia telah dilaksanakan pemilihan umum sebanyak sepuluh kali, yaitu dimulai tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009.
Pemilu 1955. Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Sebelumnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Pemilu 1971, Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga partai politik. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer.
Pemilu 1999, Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Pemilihan Umum 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dan diikuti oleh 24 partai politik. Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.
Pemilu 2009 diikuti oleh semua Parpol yang memiliki kursi di DPR dan Parpol baru yang berstatus badan hukum dari Dephukham yang lolos verifikasi KPU, yang keseluruhannya berjumlah 44 Partai Politik, termasuk 6 Partai Politik Lokal di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Jumlah ini lebih besar bila dibandingkan dengan peserta Pemilu tahun 2004 yang berjumlah 24 Partai Politik. Dari 38 partai politik nasional, hanya 9 partai yang memenuhi Parliamentary Threshold yang dilaksanakan berdasarkan ketetapan dalam Bab XIII Pasal 204 -212, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, ambang batas perolehan suara 2,5 persen. Sementara 29 partai lainnya harus tersingkir. Berikut perolehan 9 partai politik tersebut secara lengkap. Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI P, PKS, PAN , PPP , PKB, Gerindra dan Hanura.

B. Undang-Undang Pemilihan Umum
Selain tercantum dalam UUD 1945, masalah mengenai pemilihan umum juga diuraikan secara sistematis dalam suatu undang-undang yang disusun secara bersama oleh DPR dan Presiden. Undang-undang tentang Pemilihan Umum yang berlaku saat ini adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 karena undang-undang lama tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat. Dijelaskan dalam Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 2003 bahwa perubahan yang terjadi pada UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut UUD.
Berdasarkan perubahan tersebut, seluruh anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih melalui pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Melalui pemilu tersebut akan lahir lembaga perwakilan dan pemerintahan yang demokratis.
Tujuan dari diselenggarakannya pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Dalam Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pemilihan umum (pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Peserta pemilu adalah partai politik untuk calon anggota legislatif danperseorangan untuk calon anggota DPD yang telah memenuhi persyaratan sesuai UU No. 12 Tahun 2003. Sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia memberikan hak yang sama bagi semua warganya yang memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Menurut Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2003, untuk dapat didaftar sebagai pemilih dan menggunakan hak memilihnya dalam pemilu, seorang Warga Negara Indonesia (WNI) harus sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah kawin, tidak sedang terganggu jiwanya, dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, menurut Pasal 60 UU No. 12 Tahun 2003, seorang WNI harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.
3. Berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia.
5. Berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat.
6. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
7. Bukan bekas anggota Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.
8. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
9. Tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
10. Sehat jasmani dan rohani
11. Terdaftar sebagai pemilih.
Mengenai peserta pemilu dari partai politik diuraikan dengan jelas dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2003. Sedangkan tata cara tentang peserta pemilu dari perseorangan diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 UU No.12 Tahun 2003. Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, DPR bersama Presiden juga menyusun UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik sebagai pengganti UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan.
Dalam Penjelasan atas UU No. 31 Tahun 2002 diuraikan bahwa pembentukan, pemeliharaan, dan pengembangan partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem politk demokrasi.
Partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana pendidikan politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik. Melalui pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut, partai politik diharapkan dapat meningkatkan kesadaran politik masyarakat serta merekatkan berbagai golongan dalam masyarakat demi mendukung persatuan nasional, mewujudkan keadilan, menegakkan hukum, menghormati hak asasi manusia, dan menjamin terciptanya stabilitas keamanan. Pasal 1 UU No. 31 Tahun 2002 mendefinisikan partai politik sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Secara umum, tujuan partai politik adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.

C. Penyelenggara Pemilihan Umum
Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Komisi ini memiliki tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pemilu, dan dalam menjalankan tugasnya, KPU menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR.
Menurut UU No. 12 Tahun 2003 Pasal l5 dinyatakan bahwa: (1) Pemilu diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. (2) KPU bertanggungjawab atas penyelenggaraan Pemilu. (3) Dalam melaksanakan tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan DPR. Dan Menurut UU No 3 tahun 1999 dirubah UU No 4 tahun 2000 tentang pemilu Pasal 8 bahwa Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen dan non-partisan .
Pada Pasal l6 UU No. 12 Tahun 2003
(1) Jumlah anggota :
a. KPU sebanyak-banyaknya 11 orang;
b. KPU Provinsi sebanyak 5 orang;
c. KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 orang.
(2) Keanggotaan KPU terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, dibantu seorang wakil ketua merangkap anggota, dan para anggota.
(3) Ketua dan wakil ketua KPU dipilih dari dan oleh anggota.
(4) Setiap anggota KPU mempunyai hak suara yang sama.

Pasal 17 UU No. 12 Tahun 2003
(1) Struktur organisasi penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
(2) KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mempunyai sekretariat.
(4) Pola organisasi dan tata kerja KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) ,dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usul KPU sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam pelaksanaan Pemilu, KPU Kabupaten/Kota membentuk PPK dan PPS.
(6) Dalam melaksanakan pemungutan suara di TPS, PPS membentuk KPPS.
(7) Tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir 2 (dua) bulan setelah hari pemungutan suara.
(8) Tugas PPS dan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir 1 (satu) bulan setelah hari pemungutan suara.
(9) Dalam pelaksanaan Pemilu diluar negeri, KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN membentuk KPPSLN.
(10) Tugas PPLN dan KPPSLN sebagaimana dimaksud pada ayat (9) berakhir 1 (satu) bulan setelah hari pemungutan suara.
(11) Untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu, KPU membentuk Pengawas Pemilu.
Menurut Pasal 25 UU No. 12 Tahun 2003, tugas dan wewenang KPU adalah:
(1) Merencanakan penyelenggaraan KPU.
(2) Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan pemilu.
(3) Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilu.
(4) Menetapkan peserta pemilu
(5) Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi, dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
(6) Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara.
(7) Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
(8) Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilu.
(9) Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Menurut Pasal 26 UU No. 12 Tahun 2003, Komisi Pemilihan Umum berkewajiban :
(1) Memperlakukan peserta Pemilu secara adil dan setara guna menyukseskan Pemilu;
(2) Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(3) Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(4) Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
(5) Melaporkan penyelenggaraan Pemilu Kepada Presiden selambat lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR dan DPD:
(6) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN; dan
(7) Melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.
Asas penyelenggara pemilu menurut UU No. 22 tahun 2007, Pasal 2 yaitu:
1. Mandiri;
2. Jujur;
3. Adil;
4. Kepastian hukum;
5. Tertib penyelenggara pemilu;
6. Kepentingan umum;
7. Keterbukaan;
8. Proporsionalitas;
9. Profesionalitas;
10. Akuntabilitas;
11. Efisiensi; dan
12. Efektivitas.
D. Pemilihan Umum Demokrasi Kedaulatan Rakyat
Demokrasi secara klasik bermanka pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, demokrasi adalah konsep yang popular, bahkan dipandang sebagai jalan yang paling mungkin untuk menciptakan suatu tatanana pemerintahan yang menjanjikan keadilan.
Demokrasi menempatkan rakyat pada posisi yang terhormat pemilik kedaulatan, pejabat hanyalah orang suruhan rakyat. Atau mendapat mandat dari rakyat. Pelaksanaan demokrasi memerlukan dua syarat penting dan mendasar yaitu : pertama, syarat internal bagi kalangan masyarakat, demokrasi hanya dapat tercapai secara wajar dan benar, bila rakyat berada dalam kesadaran politik yang mandiri, sedangkan yang kedua, syarat eksternal, berupa kondisi yang mendukung posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, kondisi itu dapat berupa: jaminan pengakuan atas hak – hak dasar bagi rakyat dan badan-badan formal yang menyalurkan aspirasi masyarakat, badan yang bebas dari interpensi dari pihak manapun.
Dalam UUD 1945 pasca amandemen sistem politik Indonesia berdasarkan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD dan Negara Indonesia adalah negara hukum, dengan demikan tatanan dan kelembagaan politik, baik pada wilayah suprastruktur maupun infrastruktur harus dijalankan berdasarkan atuaran hukum yang demokratis.
Pemilu adalah institusi pokok pemerintahan perwakilan yang demokrasi, karena dalam demokrasi, wewenang pemerintah hanya diperoleh atas persetujuan dari mereka yang diperintah . Pemilihan umum merupakan amanat dari UUD 1945 sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Negara Republik Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik dan menjalankan pemerintahan dalam bentuk demokrasi. Dalam pokok pikiran ketiga Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 terkandung bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dijelaskan bahwa kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini bertugas mempersiapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan negara. MPR juga mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakilnya (Wakil Presiden). MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, sedangkan Presiden bertugas menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR. Di sini, peran Presiden adalah sebagai mandataris MPR, maksudnya Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen keempat tahun 2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini juga tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen kedua tahun 2000 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.” serta Pasal 22C UUD 1945 hasil Amandemen ketiga tahun 2001 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.” Dalam Pasal 6A UUD 1945 yang merupakan hasil Amandemen ketiga tahun 2001 dijelaskan mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lengkapnya berbunyi:
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(4) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara Republik Indonesia mengatur masalah pemilihan umum dalam Bab VIIB tentang Pemilihan Umum Pasal 22E sebagai hasil Amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001. Secara lengkap, bunyi Pasal 22E tersebut adalah:
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.


BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan Uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Sejak proklamasi kemerdekaan hingga tahun 2010 di Indonesia telah dilaksanakan pemilihan umum sebanyak sepuluh kali, yaitu dimulai tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009.
2. Pemilihan Umum adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil presiden diberbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.
3. Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Komisi ini memiliki tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pemilu, dan dalam menjalankan tugasnya, KPU menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR.
4. Pemilihan umum merupakan amanat dari UUD 1945 sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.