Jumat, 04 September 2009

PENEGAKAN HUKUM BIDANG KEHUTANAN MASIH SEBUAH JANJI

Sejak dibukanya kawasan hutan di hampir seluruh provinsi Riau, bagi pengusaha HPH/HPHTI maka secara berangsur hutan yang semula terpilihara menjadi rusak, akibat pemanfaatan hasil hutan yang tidak dibarengi dengan penamanan kembali guna menjaga kelestariannya, dan puncak kebinasaan itu adalah bukan saja mengundulkan hutan, tetapi juga membawa kerusakan lingkungan dan pencemaran, sekaligus menghabiskan pula berbagai jenis flora dan faunanya yang menjadi kebanggaan daerah. Kerusak hutan bukan saja berdampak pada kehidupan perekonomian tempatan, tetapi juga menyangkut harkat, martabat dan marwah, serta sumber nilai dan sosial budaya.
Perlu diakui, dibukanya kawasan hutan menjadi perkebunan besar dan industri dari satu sisi menjadi aset daerah dan membawa dampak positif, tetapi dari sisi lain, karena pengelolaannya nyaris tidak menuruti tata cara yang baik dan benar, dan tidak pula berpihak kepada pelestarian lingkungan serta tidak pula memperhatikan nilai-nilai budaya tempatan, maka akibatnya menimbulkan beragam dampak negatif terutama bagi masyarakat dan lingkungan. Dilihat dari sibuknya era pemanasan global kerusakan hutan bukan saja bagi masyarakat tempatan tetapi juga berdampak pada masyarakat internasional. Dunia membutuhkan hutan. Kebutuhan akan lahan hijau seperti hutan merupakan paru-paru dunia yang perlu dilestarikan guna menambah usia planet bumi yang dihuni ini.
Khusus bagi masyarakat Riau, hampir seluruh hutan telah dikuasai pihak luar, yang memperoleh izin untuk berbagai kegiatan baik HPH maupun HPHTI. Akibatnya sumber nafkah dan sumber budaya masyarakat Riau menjadi hilang, dan mereka hidup bagaikan ayam kelaparan di tengah ladang orang. Sungai, tasik dan danau sebagian besar sudah tercemar oleh limbah yang dihasilkan perusahaan yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Berbagai jenis tumbuhan yang menjadi sumber nafkah, sumber budaya dan sumber kesehatan masyarakat telah habis, karena lahannya sudah menjadi lautan sawit, akasia atau bangunan industeri dan sebagainya. Kehijauan belantara yang sarat berisi ratusan jenis flora dan berbagai jenis fauna, telah bertukar dengan tanaman industeri yang nyaris seluruhnya milik orang luar.
Menyadari keadaan ini, masyarakat Riau berulangkali melakukan gugatan dan menuntut perusahaan dan pemerintah agar memperhatikan nasib mereka, menghormati dan mempertahankan hak-haknya, serta mengembalikan lahan mereka yang dikuasai secara tidak manusiawi dan tidak memperhatikan pelestarian alam serta ketentuan-ketentuan asas di dalam izin yang dimiliki perusahaan, bahkan ada yang terang-terangan melanggar hukum. Namun setakat ini belumlah banyak hasilnya, karena masyarakat sering berada di pihak yang kalah. Tuntutan mereka selalu dipatahkan dengan berbagai cara yang tidak manusiawi, atau dibodohi dengan semena-mena.
Kenyataan selama ini memang demikian, keberpihakan hukum selalu kepada yang memegang kuasa dan modal. Banyak kasus penangkapan kayu ilegal hilang begitu saja. Banyak kasus kebakaran hutan, yang dipendam begitu saja. Kalaupun dibawa ke pengadilan, maka yang tertangkap barulah sebatas “teri”nya saja, dan itupun tidak mustahil sebagai “tumbal” melindungi para cukong dan pembackingnya.
Keadaan inilah sebenarnya menyebabkan rakyat yang selama puluhan tahun menanggung derita, “makan hati” dengan penuh kecewa, tidak dapat lagi mempercayai keampuhan hukum dan para penegak hukum. Mereka melihat seakan upaya pemberantasan penebangan liar, pencurian kayu ilegal dan sebagainya itu tidak lebih dari “sandiwara” dengan skenario yang dirancang dengan rapi. Hukum dengan mudah diperjualbelikan orang, aparat penegak hukum dengan “rendah hati” membiarkan marwahnya diinjak-injak para cukong pemodal besar.
Pembalakan haram/Ilegal Logging telah sama tuanya dengan pembalakan komersial itu sendiri. Bahwa saat ini pembalakan haram menjadi perhatian utama lebih dikarenakan skala dan intensitasnya yang sedemikian besar seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri perkayuan yang berbanding terbalik dengan kesehatan hutan tersebut dimana berdasarkan analisis World Bank bahwa setiap tahunnya kayu yang ditebang secara ilegal diperkirakan mencapai 30 juta m3. Kerugian negara akibat ilegal logging Rp 30 Triliun/tahun dan jika ditambah dengan dampak ikutan dari aktivitas tersebut maka kerugian negara menjadi Rp 562 Triliun/tahun (Departemen Kehutanan). Sementara dari hasil operasi ilegal logging oleh pihak kepolisian Riau, tidak kurang dari Rp 390 milyar per tahun kerugian negara akibat aktivitas kejahatan kehutanan tersebut.
Berdasarkan catatan dan analisis ICW terhadap putusan kasus Illegal Logging selama tahun 2005-2008, misalnya. Dari 205 terdakwa yang terpantau dan muncul ke permukaan, sekitar 66,83% diantaranya divonis bebas, atau 137 orang; Vonis dibawah 1 tahun dijatuhkan terhadap 44 orang (21,46); vonis 1-2 tahun terhadap 14 orang (6,83%), dan diatas 2 tahun sebanyak 10 orang (4,88%).
Dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus illegal logging yang dilakukan oleh 13 perusahaan kayu di Riau oleh Kepolisian Daerah Riau merupakan preseden buruk di akhir tahun terhadap upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan pemberantasan illegal logging yang dikampanyekan oleh pemerintah.
Kasus ini awalnya menyeret 14 (empat belas) perusahaan perkayuan milik
PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Indah Kiat Pulp and Paper
(IKPP) dalam operasi Tim Ilegal Logging Mabes POLRI dan Dirjen Kehutanan
pada 15 Februari 2007 dimana Irwasum Mabes Polri, Komjend (Pol) Yusuf
Manggabarani dan Kabareskrim Mabes Polri, Komjend (Pol) Bambang Hendarso
Danuri (sekarang Kapolri) turun langsung. Tujuh perusahaan dari kelompok
PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), antara lain PT Madukoro dan PT
Nusa Prima Manunggal (NPM) di Kabupaten Pelalawan, PT Bukit Batubuh Sei
Indah (BBSI), PT Citra Sumber Sejahtera (CSS), dan PT Mitra Kembang
Selaras (MKS) di Kabupaten Indragiri Hulu, PT Merbau Pelalawan Lestari
(MPL) dan PT Nusa Prima Manunggal (NPM), Tujuh perusahaan dari kelompok
PT IKPP yaitu PT Arara Abadi, PT Bina Duta Laksana (BDL) PT Rimba Mandau
Lestari (RML), PT Inhil Hutan Pratama (IHP), PT Satria Perkasa Agung
(SPA), PT Wana Rokan Bonay Perkasa (WRBK), dan PT Ruas Utama Jaya (RUJ).
Berkas kasus tersebut sebelumnya telah bolak-balik ke Kejaksaan sampai
dengan kemudian dianggap kurang cukup bukti (berdasarkan keterangan tim
ahli dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan Departemen Kehutanan)
sehingga di putuskan untuk dikeluarkan Surat Pemberhentian Penyidikan
Perkara (SP3). Tim ahli dari KLH menyimpulkan tidak ada kerusakan
lingkungan sedangkan tim ahli dari Dephut menyimpulkan bahwa 13
perusahaan tersebut mengantongi izin kecuali PT Ruas Utama Jaya (RUJ)
anak perusahaan IKPP yang tidak memiliki izin dan memang memenuhi unsur
pembalakan liar.
Yang menarik, Kapolda Riau Brigjen (Pol) Hadiatmoko, berani pasang
badan, siap bertanggung jawab dan dicopot jabatannya apabila dirinya
dinilai gagal dalam pemberantasan pembalakan liar (illegal logging)
terutama terkait penghentian penyidikan 13 (tiga belas) kasus pembalakan
liar di Riau tersebut.
Penegakan hukum lingkungan merupakan harapan terhadap perbaikan kondisi ekologis Indonesia yang semakin kerap mengalami bencana ekologis. Pemerintah harus tegas dalam upaya tersebut, dan bukan semata hanya di atas kertas dengan begitu banyaknya peraturan dan kerjasama yang dilakukan dengan negara lain dalam hal pemberantasan penebangan dan perdagangan kayu haram. Indonesia khususnya Riau akan semakin cepat hilang dari peradaban bila tidak dilakukan upaya penyelamatan kawasan hutan dengan melakukan jeda penebangan hutan (moratorium logging).
Secara umum, kondisi yang memilukan itu terjadi kerena beberapa sebab, antara lain :
1. Masih potensialnya hasil hutan
Hasil hutan memang merupakan primadona keuangan yang cukup mengiurkan, sehingga perusahan berlomba untuk mendapatkannya, namun pengelolaan yang tidak bertanggung jawab, membuat hutan kehilangan hutannya, flora dan fauna kehilangan tempat tinggalnya, manusia kehilangan jati dirinya. Hutan ibarat paru-paru yang memompa kesehatan bagi manusia.
Potensi hutan juga didukung oleh tinggi kebutuhan manusia akan kayu bagi setiap usahanya, dari kebutuhan akan rumah, peralatan, juga fasilitas lainnya. Tingginya permintaan ini tidak hanya datang dari lokal namun juga nasional bahkan internasional. Namun yang diperlukan adalah penghematan sebagai upaya pelestarian kebutuhan akan hutan dan hasilnya.
2. Lemah dalam pengawasan dan pemberian izin.
Bila disimak lagi, keadaan yang merusak lingkungan itu terjadi bukan semata-mata akibat perusahaan yang memang mencari lahan seluas mungkin dan mencari keuntungan sebanyak mungkin, tetapi juga akibat kebijakan pemerintah yang cenderung terlalu gegabah memberikan izin lokasi dan hak atas lahan atau hak atas usaha dimaksud. Kecerobohan itu menjadi semakin merusak karena kurangnya pengawasan di lapangan, sehingga perusahaan dapat berbuat leluasa dan mengabaikan peraturan yang diberlakukan kepadanya.
Proses pemberian izin lokasi dan usaha walaupun secara formal sudah dilakukan oleh setiap pengusaha, namun kenyataan menunjukkan kebanyakkan perolehan izin dimaksud dilakukan “di atas meja”, tanpa melihat langsung kelapangan atau sekedar “meninjau” lapangan saja tampa melakukan pendataan yang akurat. Akibatnya terjadilah izin yang tumpang tindih, atau peta yang mengambang, yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Akibat lain, tidak sedikit pula hak-hak masyarakat baik hak pribadi maupun hak adat dihilangkan begitu saja tanpa musyawarah apalagi memberikan imbalan bagi masyarakat tempatan secara adil dan memadai.
Kurangnya pengawasan, menyebabkan areal perusahaan tidak mustahil melebihi izin yang diberikannya, dan operasionalnya dilakukan tanpa memperhatikan pelestarian lingkungan dan kehidupan masyarakat tempatan. Kalaupun ada pengaduan masyarakat, lalu diturunkan tim, lazimnya kedatangan tim ini selalu “didanai”(dibiayai) dan “diatur” oleh perusahaan sehingga objektivitasnya selalu diragukan masyarakat. Apa lagi kedatangannya itu jauh-jauh hari sudah diberitahukan, sehingga bukti-bukti limbah dan pencemaran atau pelanggaran lainnya mudah disembunyikan dan diatur agar tidak ada pembuktian di lapangan. Kalau pun ada contoh limbah yang disampaikan oleh masyarakat untuk diperiksa, contoh itu pun lenyap tak berbekas, apalagi tentang hasil pengujiannya dilaboratorium, yang dikirim ke pusat, karena daerah tidak memiliki labor yang memadai.
3. Kurangnya tanggung jawab moral.
Secara umum dapat pula disimak, bahwa sebagian perusahaan nyaris tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungannya, baik terhadap masyarakat maupun alamnya. Dengan izin yang mereka miliki, mereka merasa bebas untuk berbuat apa saja, tanpa memperhatikan apakah usaha itu merugikan masyarakat, merusak lingkungan atau tidak. Pendekatan-pendekatan yang mereka lakukan, lazimnya hanya pendekatan birokrat yang berorientasi kepada kekuasaan yang disebut “mengepit kepala harimau”. Bahkan, dengan backingan oknum-oknum tertentu yang selalu siap “mengamankan” operasional perusahaan, mereka “menghalalkan” segala cara melaksanakan kegiatannya, bahkan semakin “sombong” dan “besar kepala”, walaupun masyarakat mengangap kegiatan perusahaan itu sangat menyimpang dari ketentuan yang berlaku, tidak manusiawi dan merugikan mereka.
Berbagai kasus ilegal logging yang bebas di pengadilan telah membuat hati rakyat, tercabik, masih kah penegakan hukum di bidang kehutanan masih tinggal janji. Ini adalah tanggung jawab bangsa Indonesia khususnya rakyat Riau untuk menjawabnya terutama aparat penegak hukum dan pihak yang berwenang yakni departemen terkait. Wallahu ‘alam.