Sabtu, 03 Oktober 2009

pakar hukum; GOLPUT: Fenomena Pengabaian Hak Konstitusional Warga atau ?

oleh yhannu

Pendahuluan

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim[1] secara tegas pernah mengungkapkan bahwa dalam paham ke­daulatan rakyat (democracy) rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi suatu negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyatlah pula yang menentukan tujuan yang hendak di­capai oleh negara dan pemerintahannya itu.

Dalam praktiknya, yang secara teknis menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemerintahan eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen.[2] Perwakilan rakyat tersebutlah yang bertindak untuk dan atas nama rakyat, yang secara politik menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun pendek.




Agar para wakil rakyat tersebut dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Mekanismenya melalui pemilihan umum (general election). Dengan demikian, pemilihan umum (general election) Secara umum tujuan pemilihan umum itu adalah:

a. memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib.

b. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.

c. Dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga Negara.

Keturutsertaan[3] warga dalam pemilihan umum (general elections) merupakan ekspresi dari ikhtiar melaksanakan kedaulatan rakyat serta dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga negara. Akan tetapi dalam konteks pemilihan umum, terdapat sejumlah varian warga yang memiliki pandangan tersendiri untuk tidak menggunakan hak pilihnya (atau yang kerap disebut Golongan Putih (Golput). Secara aksiologis golput secara umum dipandang sebagai suatu sikap untuk tidak mengikuti proses pemilihan umum atau bersikap tidak mau memilih atau tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam acara pemilihan.

Pada dasarnya Golongan Putih (Golput) adalah fenomena klasik dari suatu kegiatan pemilihan umum, baik dalam konteks nasional, maupun dalam konteks lokal (pilkada) . Lantas, jika angka rata-rata Golput dari setiap kali pemilihan umum meningkat signifikan, mengapa kita harus terus menerus mempertanyakannya, mengapa angkanya yang menjadi pusat perhatian. Mengapa bukannya sebab sampai warga menjadi Golput yang dijadikan sumber analisa atau mengapa sebabnya warga lebih memilih golput ketimbang menggunakan hak politiknya.

Golput, Fenomena Riel Yang Kerap Dicaci

Dalam terminologi ilmu politik, golput seringkali disebut dengan non-voter. Terminologi ini menunjukkan besaran angka yang dihasilkan dalam event pemilu di luar voter turn out. Fenomena voter dan non-voter ini menjadi focus utama studi voting behavior yang berkembang dalam ilmu politik.

Ada beberapa kategori para pemilih yang tidak menggunakan hak pilih (non-voters). Menurut Louis De Sipio, Natalie Masuoka dan Christopher Stout kategori non-voter meliputi:

• Registered Not Voted : yaitu kalangan warga Negara yang memiliki hak pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih.

• Citizen-not Registered : yaitu kalangan warga Negara yang memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih.

• Non-Citizen : Mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk suatu daerah) sehingga tidakmemiliki hak pilih.[4]

Hasil pemilihan Kepala Daerah di beberapa daerah baik Propinsi maupun Kabupaten di Indonesia kerap ditandai dengan tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya—sering disebut sebagai golput. Jika dibuat rata-rata, tingkat golput selama pelaksanaan Pilkada mencapai angka 27.9%.[5]

Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya tersebut kerap dianggap sebagai warga yang tidak sadar atas perbuatannya, warga yang tidak peduli dengan demokratisasi, bahkan dianggap warga yang tidak bernalar budi.

Padahal sejatinya, merujuk pada hasil riset yang dilakukan oleh Lingkaran Suvey Indonesia (LSI), diketahui bahwa sebenarnya terdapat paling tidak, tiga alasan bagi seorang pemilih yang akhirnya menyebabkan dia memutuskan untuk tidak mempergunakan hak konstitusionalnya sebagai seorang warga negara dalam berbagai proses eleksi kepemimpinan bertajuk pemilihan kepala daerah, yaitu:

Pertama, alasan administratif, seperti tidak mendapat surat undangan, atau belum memperoleh kartu pemilih.

Kedua, alasan individual atau teknis, seperti sedang bekerja, ada keperluan pribadi di saat hari pemilihan.

Ketiga, alasan politis, yakni menganggap Pilkada tidak ada gunanya dalam meningkatkan kehidupan lebih baik.

Data yang dikemukakan berdasarkan riset yang dilakukan Lingkaran Survey Indonesia tersebut tegas dan terang menunjukkan, alasan yang sifatnya administratif dan teknis/individual dari seorang warga negaralah yang menjadi sebab utama, akhirnya seseorang tidak ikut dalam kegiatan pemilihan pemimpinnya. Klaim bahwa seseorang memilih golput sebagai bentuk protes terhadap penyelenggaraan Pilkada, ternyata tidaklah sebesar yang diduga selama ini.

Aksi yang dilakukan oleh komunitas Golput untuk tidak menggunakan hak pilihnya bermacam-macam. Misalnya dengan bersikap tidak mau datang atau menghadiri ke tempat pemungutan suara, ada juga yang merusak surat suara dengan memilih lebih dari satu, atau datang ke tempat pemungutan mengambil kertas suara namun tidak memilih salah satunya.

Walupun demikian, sebagian kalangan tetap memahami fenomena Golput dalam sudut pandang yang baik. Hal tersebut sejalan dengan stimulasi peningkatan perolehan suara Golput dalam setiap pemilihan umum:

Pertama, Golput merupakan ciri menarik dari perangkat asas pemilu yang bebas. Artinya warga memilih untuk tidak memilih. Ini merupakan sisi gelap dari demokrasi, tetapi serentak itu pula ada kesadaran politis pada warga yang kritis, lebih tanggap, tanpa represi dan merdeka;

Kedua, boleh jadi Golput merupakan ungkapan kesadaran politis atau partisipasi politis warga yang sadar, cerdas dan bertanggungjawab. Sederhanya, lebih baik tidak memilih daripada memilih jika tidak sesuai dengan kehendak hati nurani;[6]

Ketiga, merupakan catatan bagi setiap calon pemimpin dan juga setiap partai pengusung bahwa fenomena Golput harus ditelaah secara kritis. Mengapa, sebab bisa jadi Golput merupakan ungkapan keenggapan politik warga dalam berpartisipasi aktif. Keengganan itu sebagai ungkapan ketidakpuasaan atas citra politik calon pemimpin atau partai pengusung yang tidak memadai bahkan buruk.

Inilah tiga alasan utama yang perlu dianalisa lebih lanjut, mengapa justru Golput menjadi gelombang yang makin signifikan, sementara berbagai himbauan sudah diberikan sebelumnya. lantaran itu mengapa para ahli belum juga sependapat untuk tegas menyatakan bahwa golput juga merupakan bentuk partisipasi politik warga.

Dan mengapa justru Warga pemilih Golput yang harus menanggung kesalahannya, dicaci, tetapi tetap tak dihargai?

***

[1] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, cet.ke-5, Jakarta, 1983. hal.328.

[2] Di Indonesia lembaga parlemen disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk tingkat pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Propinsi Kabupaten/Kota).

[3] Beberapa kalangan menganggap makna keturutsertaan setara dan sejiwa dengan makna kata partisipasi atau keterlibatan warga.

[4] Lihat Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan, Edisi 05 September 2007. Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Campaign, Political and Business Consultan, lebih jelas lihat www.lsi.co.id. (akses 25 Juli 2008)

[5] Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Ibid
[6] Lihat http://www.tempointeraktif.com/ang/min/02/08/nas3b.html. Kali Ini Mahasiswa UI Bersuara: 48,7 Persen Akan Golput (akses 25 Juli 2008)