Sabtu, 03 Oktober 2009

pakar hukum, islam, ham dan kewarganegaraan

Oleh : Mardias Gufron



Islam adalah agama yang modern atau agama yang relevan dengan kemodernan, karena ia membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan kemodernan (salih li kulli zaman wa makan). Islam jelas mendorong kemodernan dan ia jelas pada misi Islam yang membawa rahmat, kemaslahatan dan perdamaian bagi alam semesta (rahmat li al-alamin). Jika dihubungkan dasar Islam dengan watak sejarah yang selalu menampilkan kesinambungan dan perubahan (continuity and change), akan menunjukkan bahwa Islam mendorong dinamisme dan perkembangan peradaban yang senantiasa bergerak maju membawa pembaharuan dan kemajuan. Dasar toleransi Islam terhadap perubahan dan kemajuan peradaban ini tentu terbatas pada nilai-nilai Islam. Sementara itu, bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, keterlibatan agama dalam merespons berbagai masalah kehidupan sosial tersebut tampak semakin jelas dan signifikan. Kini Islam sedang terlibat dalam proses transformasi dari posisi kuantitas menuju posisi kualitas. Dalam konteks ini, interaksi antara Islam dan berbagai masalah aktual, bukanlah sebuah produk sejarah yang telah selesai melainkan suatu proses yang berkelanjutan.

Di dalam Islam manusia mendapat kedudukan yang terhormat, sebab selain diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna, manusia juga bertugas sebagai khalifah yang mengatur alam ini.[1] Yang membedakan manusia dengan hewan adalah karena manusia itu mempunyai rasa yang berawal dari adanya jiwa. Jiwa dalam hal ini berbeda dengan roh, karena roh tidak pernah sakit sedangkan jiwa, tidak sedikit orang yang terganggu jiwanya karena dipecundangi hak asasinya. Maka setiap individu akan berusaha menjaga dan memelihara hak asasinya sebagai seorang manusia.

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hak asasi manusia, hal ini terbukti dengan adanya jaminan Islam terhadap HAM melalui berbagai cara. Menurut Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, setidaknya ada tiga hal yang membuktikan keterkaitan Islam dengan HAM.[2] Pertama, dalam al-Qur’an memang tidak dipaksakan untuk memeluk agama Islam dan “dibebaskan untuk tidak beragama.” Seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 29 yang berarti : “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa ingin beriman, hendaklah ia beriman. Barangsiapa ingin kafir, biarlah ia kafir.” Kedua, model masyarakat yang dikembangkan Rasul di Madinah melalui piagam Madinah merupakan deklarasi HAM pertama di dunia. Dalam piagam tersebut setiap masyarakat Madinah dibolehkan menganut agama masing-masing dan tidak mengganggu orang untuk beribadah. Karena itu para sarjana memandang bahwa piagam ini merupakan teks sebagai pengakuan Hak Asasi Manusia. Walaupun kemudian teks ini dilanggar oleh kelompok non-Muslim, namun harus diakui sumbangsih Islam terhadap cetak biru HAM di muka bumi ini. Sebab teks-teks tentang HAM di barat mulai dikenal pada abad ke-13 dengan munculnya Magna Charta (1215). Ketiga, dalam Islam dikenal 5 prinsip hak asasi manusia yang seringkali kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih: a) Hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup; b) Hak perlindungan keyakinan; c) Hak perlindungan terhadap akal pikiran; d) Hak perlindungan terhadap hak milik; e) Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan danmempertahankan nama baik. [3] Lima prinsip inilah yang selalu menjadi nafas dalam pengkajian hukum Islam. Artinya semua ketentuan hukum harus berlandaskan lima prinsip tersebut. Prinsip-prinsip tersebut tentu juga sangat relevan jika dikaitkan dengan ketentuan hukum yang yang berlaku di negara kita Indonesia.

Dalam perjalanan republik ini telah banyak muncul permasalahan hukum tata negara, salah satu penyebab utama dari hal ini adalah karena ketidaksempurnaan UUD 1945 sebagai konstitusi utama Republik Indonesia. Ketidaksempurnaan UUD 1945 ini telah banyak mendorong timbulnya diskursus mengenai kebutuhan perubahan terhadap UUD 1945. Sebagaimana diketahui bahwa MPR telah melakukan Amandemen sebanyak empat kali. Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu agenda besar reformasi yang sudah menjadi kesepakatan kolektif bangsa, yang dituangkan dalam TAP MPR No. IX Tahun 1999. Di samping landasan formal dan normatif sebagaimana TAP MPR tersebut, beberapa pasal pada UUD 1945 menimbulkan multitafsir, akibat dalam implmentasinya akan disesuaikan dengan kepentingan pemegang kekuasaan, yang terkadang menjadi tidak mengindahkan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih dan baik. (good governance and clean government). Meskipun penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi negara ketika itu dilandasi kepercayaan akan moral yang tinggi dari para penyelenggara negara, ternyata akibat dari perubahan zaman memberi pelajaran kepada kita bahwa nilai-nilai di masyarakat ternyata telah bergeser. Akibatnya kepercayaan kepada iktikad baik harus diikuti dengan pengaturan yang lebih lugas, eksplisit, dan menutup peluang multitafsir terhadap suatu hukum dasar. Karena itu UUD 1945 memerlukan suatu penyempurnaan melalui proses amandemen. Dan dari seluruh proses itu banyak kelemahan sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap hasilnya. Oleh karena itu, penulis memandang perlunya mengkritisi berbagai produk amandemen sehingga hasil amandemen bisa berjalan baik dan dapat diterima seluruh masyarakat.

Ada beberapa masalah yang perlu diajukan, karena masalah tersebut potensial mengingkari pelaksanaan penegakan hak asasi secara konsisten dan menempatkan pasal-pasal hak asasi didalam Bab XA Hak Asasi Manusia hanya menjadi sebuah prinsip yang tidak mempunyai daya enforcement. Selain itu, juga ada indikasi ketidak disiplinan di dalam merujuk prinsip penting di dalam konvensi hak asasi yang berlaku secara universal. Permasalahan itu antara lain :

1. Ameandemen tidak menyebutkan secara tegas mengenai visi dan misi negara mengenai hak asasi manusia. Karena itu, perlu dirumuskan fungsi dan peran negara didalam memastikan dan menjamin hak asasi manusia agar dilakukan secara konsisten oleh kekuasaan. Diperlukan jaminan yang "decesive’ dari sekedar "perlindungan, pemajuan dan penegakan dan pemenuhan ham adalah tanggung jawab negara…" [pasal 28 I ayat 4]. Selain juga harus disebutkan bagaimana bentuk dari tanggung jawab negara dan bagaiamana mekanisme untuk mewujudkan tanggung jawab itu.
2. Jaminan menjadi penting karena kekuasaan potensial melakukan pelanggaran terhadap nilai dan prinsip hak asasi serta untuk menjamin pasal-pasal hak asasi itu tidak hanya menjadi "pasal pemanis" di dalam konstitusi, tapi tidak bisa "dieksekusi". Dengan begitu, promosi, perlindungan dan penegakan hak asasi untuk warga negara dapat dirasakan secara kongkrit.
3. Amandemen tidak menyebutkan secara tegas bahwa nilai dan prinsip hak asasi di dalam konstitusi harus dijadikan dasar rujukan bagi pembuatan berbagai perundangan lain dibawah konstitusi. Selain itu amendemen tidak memuat dan mengatur suatu lembaga yang mampu menjalankan tugas pokok agar nilai dan prinsip hak asasi bisa diaktualisasikan lebih kongkrit. Itu sebabnya, lembaga seperti Komisi Hak Asasi Manusia. Dengan begitu ada jaminan terjadi suatu proses yang potensial menyebabkan terciptanya "impunity" didalam mewujudkan penegakan hak asasi.
4. Amandemen tidak sepenuhnya konsisten merujuk pada prinsip universalitas hak asasi, karena sebagian pasal masih memuat nilai yang mempunyai indikasi partikularistik. Misalnya saja : pasal 28 I ayat 3 yang mengatur "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional…" masih diatur secara partikularistik. Begitupun pasal yang secara limitative mengatur soal yang berkaitan dengan gender equality yang secara universal perlu di dimasukkan di dalam prinsip hak asasi tidak dimasukkan di dalam amendemen.
5. Amandemen juga tidak mengatur problem kongkrit mengenai, bagaimana negara melindungi, memajukan, menegakkan hak asasi di dalam periode transitional. Karena dapat dipastikan, negera tidak akan mungkin mampu menjamin sepenuhnya pelaksanaan hak asasi yang berkaitan dengan hak ekonomi, budaya dan sosial, seperti : hak atas kesehatan yang paripurna, fasilitas perumahan yang baik, di dalam situasi dimana negara begitu miskin.

Sementara itu dalam persoalan kewarganegaraan juga terdapat banyak hal yang perlu dikritisi dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terutama terhadap Undang-Undang (UU) tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia beberapa hal perlu dikritisi dari UU tersebut :

1. UU Tersebut masih mengandung aspek-aspek diskriminasi perlakuan dan menafikan kesetaraan gender. Hal ini mengingat dalam hal status kewarganegaraan, perempuan-perempuan Indonesia yang sudah menikah selalu di nomor duakan setelah kaum laki-laki (suami). Padahal kalau kita mau melakukan sinkronisasi dengan Konvensi tentang Kewarganegaraan yang Sudah Menikah, seharusnya peraturan perundang-undangan yang menyangkut kewarganegaraan harus memperhatikan kesetaraan gender. Hal ini terlihat pada kewarganegaraan seorang anak yang disandarkan pada hubungan hukum kekeluargaannya dengan ayahnya. Hubungan hukum kekeluargaan dengan ibu hanya dijadikan pegangan jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan (Pasal 2 butir e). "Ketentuan itu telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak setara dengan laki-laki.”
2. UU Tersebut masih mengandung aspek-aspek diskriminasi terhadap penyandang cacat. Perlakuan Diskriminasi terhadap penyandang cacat muncul dalam pasal yang mengatur persyaratan untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia (kewarganegaraan). Dalam Pasal 7 butir b UU disebutkan bahwa salah satu syarat dari kewarganegaraan seseorang
adalah harus sehat jasmani dan rohani. Diskriminasi terhadap anak-anak masih terlihat jelas dari berlakunya prinsip kesatuan hukum.
3. Selain itu tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia alias SBKRI juga sering menjadi momok bagi warga etnis tionghoa. Sesuai dengan UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan RI, SBKRI diperlukan, tapi bersifat fakultatif bagi yang memerlukannya. Padahal, keefektifan SKBRI telah dicabut melalui Keppres No.56 Tahun 1996. B.J. Habibie pun telah mengeluarkan Inpres No.4 Tahun 1999 yang menghapuskan SBKRI dan izin pelajaran Bahasa Mandarin. Menurut Keppres itu, bukti kewarganegaraan seseorang cukup dibuktikan dengan menggunakan kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), atau akta kelahiran. Sayangnya, Inpres tersebut selama ini tidak dilaksanakan. Buktinya, berbagai instansi tetap mensyaratkan SBKRI, seperti KCS, kelurahan, dan kantor imigrasi.

Melihat fenomena yang ada pada UU tersebut maka sungguh disayangkan jika masih terdapat banyak celah yang membuat hak asasi manusia teraniaya, padahal mayoritas bangsa ini beragama Islam, yang notabene di dalam Islam terkandung nilai-nilai positif yang mendukung bagi terciptanya masyarakat madani yang hidup dalam keadilan dan toleransi.

Oleh karena itu, menghadapi masa depan bangsa kita, menurut Nurcholish Madjid, [4] khazanah wawasan kenegaraan dan kemasyarakatan Madinah baik sekali kita jadikan rujukan dan teladan. Beliau juga menegaskan bahwa, hal ini dirasakan mendesak bagi masyarakat kita, mengingat akhir-akhir ini banyak terungkap perilaku yang menunjukkan tiadanya kesejatian dan ketulusan dalam mewujudkan nilai-nilai madani. Disebabkan adanya trauma-trauma masa lalu, baik di Indonesia maupun di tempat-tempat lain di seluruh dunia, khususnya di Barat, sebagian golongan msyarakat masih merasa enggan merujuk pada ajaran keagamaan untuk mencari autentitas dan keabsahan sejati bagi pandangan-pandangan kemasyarakatan dan kenegaraan. Misalnya berkenaan dengan masalah pluralisme--suatu unsur yang asasi bagi masyarakat madani sebagaimana diletakkan dasar-dasarnya oleh Nabi--kita dapatkan bahwa masyarakat kita masih menunjukkan pemahaman yang dangkal. Istilah pluralisme hanya dipahami secara sepintas tanpa mengerti makna secara mendalam.

Paham pluralisme atau kemajemukan masyarakat tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi herus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai sebuah nilai positif. Ia merupakan rahmat Tuhan kepada manusia, yang akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Pluralisme adalah perangkat untuk mendorong pengayaan budaya bangsa. Maka, budaya Indonesia atau keindonesiaan, tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya (resourcefull) dan dinamis antar pelaku budaya yang beraneka ragam itu dalam suatu melting pot yang efektif, seperti diperankan oleh kota-kota besar di Indonesia, khususnya Ibu kota.

Jad, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita mejemuk, beraneka ragama atau terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya mengggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engegement of diversities within the bonds of civility).[5] Bahkan, pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, anatara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antarsesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan-Nya yang melimpah kepada umat manusia. “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.”[6]

[1] Al-Qur’an Surat al-An’am ayat 165

[2] Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 105

[3] Masdar F. Mas’udi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah (ed.), Diseminasi Hak Asasi Manusia, 2000, hlm, 66-67.

[4] Nurcholish Madjid, “Asas-Asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani” dalam Abudin Nata (Ed.), Problematika Politik Islam di Indonesia, Pt. Grasindo, Jakarta, 2002, hlm. 4

[5] Ibid, hlm. 5

[6] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 251.